Menegakkan Konstitusi Proyek Strategis Nasional di Merauke

by -377 Views
Oleh: Moses Amukwaman Ratusa B (ILUNI UI)

TERBITINDO.COM – Konstitusi bersuara lantang mengakui hak masyarakat adat, tetapi bulldozer proyek strategis nasional berbicara lebih keras. Inilah paradoks pahit dalam narasi pembangunan Indonesia. Konstitusi telah mengamanatkan secara tegas untuk mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, termasuk hak adat.

Pengakuan luhur ini sebagaimana telah tertuang dalam Pasal 18B Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyrakat hukum beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 sebagaimana dalam pasal 3 memberikan pengakuan serta penghormatan kepada masyarakat hukum adat.

Namun, dalam praktiknya, janji konstitusional ini kerapkali sekadar mantra hukum di atas kertas, terutama ketika dihadapkan dengan ambisi pembangunan melalui Proyek Strategis Nasional (PSN). Hak adat, sebagai hak kolektif masyarakat hukum adat untuk menguasai, mengatur, dan memanfaatkan wilayahnya, tidak dapat dipisahkan dari identitas dan kelangsungan hidup masyarakat tersebut. Hak ini merupakan ikatan religius dan abadi.

Ironisnya, di bawah bayang-bayang proyek pembangunan skala besar seperti lumbung pangan, hak-hak ini, yang seharusnya dilindungi, justru seringkali menjadi korban pertama. Permasalahan yang mendasar terletak pada penafsiran “Hak Menguasai dari Negara”.

Berdasarkan amanat Undang-undang Dasar Tahun 1945, hak penguasaan dari negara dilandaskan pada pasal 33 ayat (3) untuk mengatur dan menetapkan penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya oleh negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi seluruh rakyat. Ketentuan ini dipertegas lagi dalam pasal 2 UUPA yakni memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur serta menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Perkataan “dikuasai” dalam ketentuan pasal 2 UUPA  bukanlah “dimiliki” melainkan memberikan wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan.  Kata “dikuasai” tidak bisa diartikan bahwa negara langsung menjadi pemilik atas semua semua sumber daya alam. Dalam kacamata hukum, kata “menguasai” di artikan sebagai “mengatur”. Oleh karena itu, di dalam konstitusi istilah menguasai tidak bisa diartikan sebagai pemilik langsung.

Beralihnya penggunaan hak menguasai yang berintikan mengatur dalam kerangka kepentingan umum menjadi memiliki dalam melaksakan program pembangunan ekonomi yang berbasiskan pada pertumbuhan. Ironisnya dalam implementasinya, telah terjadi pergeseran ideologi yang berbahaya dari negara sebagai pengatur kepentingan umum menjadi negara sebagai pemilik yang dapat dengan mudah mengalihkan penguasaan tanah kepada korporasi atas nama pertumbuhan ekonomi.

Pergeseran ini telah menimbulkan ketidakadilan. Tanah ulayat masyarakat adat, yang seringkali tidak memiliki kepemilikan legal formal, mudah dirampas. Mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum seringkali mengabaikan prinsip-prinsip partisipasi dan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC). Prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC) standar internasional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat hampir tidak terlaksana.

Konflik di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, adalah contoh yang memilukan. Proyek lumbung pangan seluas jutaan hektar yang diklaim bertujuan untuk ketahanan pangan nasional justru mengakibatkan perampasan tanah adat milik suku Malind, Maklew, dan suku-suku lainnya. Dampaknya tidak hanya berupa sengketa tanah dan kerusakan ekologis lingkungan, tetapi juga telah merusak seluruh tatanan kehidupan masyarakat.

Hilangnya mata pencaharian tradisional berimplikasi langsung terhadap krisis pangan lokal, memicu malnutrisi dan stunting pada anak-anak. Hal ini menjadi bukti kegagalan pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan hak asasi manusia. Lalu, di mana peran negara?

Konstitusi mengamanatkan negara untuk bertindak sebagai pelindung, bukan sebagai pihak yang mengabaikan atau bahkan melanggar hak-hak warga negaranya sendiri. Pengakuan hak adat harus bergeser dari deklaratif menjadi berbasis implementasi. Hal ini dapat dicapai melalui: Stop kriminalisasi dan pengabaian. Akui secara hukum setiap masyarakat adat dan wilayahnya sebelum proyek apapun dimulai. Jadikan FPIC sebagai syarat mutlak, bukan sekedar formalitas. Kemudian pembangunan harus inklusif. Kesejahteraan masyarakat adat bukanlah halangan, melainkan indikator utama keberhasilan pembangunan itu sendiri. Dan, Penegakan Hukum yang Adil: Negara harus netral dan tegas dalam menyelesaikan konflik, memastikan hak-hak masyarakat adat dipulihkan jika terbukti dilanggar.

Pada akhirnya, ujian bagi penegakan hukum dan komitmen kita terhadap keadilan sosial terletak pada kemampuan negara untuk menyeimbangkan dua kepentingan yang sah: pembangunan nasional dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Bukan membangun dengan mengabaikan konstitusi. Dampaknya terhadap masyarakat sangat besar. Ketika negara menabrak aturan, yang terjadi bukan memberikan solusi tapi melahirkan masalah baru.

Jika negara terus mengabaikan hal ini, hak-hak adat akan benar-benar menjadi bayang-bayang belaka, sementara konflik dan ketidakadilan akan terus menjadi warisan yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang. Sudah saatnya negara membuktikan bahwa konstitusi bukan hanya secercah tinta hitam di atas putih, melainkan komitmen nyata terhadap pembangunan berdampak pada kesejahteraan rakyat yang berlandaskan prinsip keadilan dan keberlanjutan.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.