TERBITINDO.COM – Saya melihat adanya mispersepsi yang meluas terhadap ormas, terutama ormas kepemudaan. Narasi yang terbentuk di masyarakat berakar pada ingatan kolektif tentang segelintir oknum ormas yang terlibat premanisme. Hal ini diperparah oleh pemberitaan yang cenderung menyoroti fenomena negatif tanpa menggali substansi peran ormas secara utuh.
Ketika media dan masyarakat bertanya apakah ormas itu identik dengan preman, atau apakah GRIB termasuk ormas preman, saya tidak langsung menjawab dengan reaktif. Saya melihat data dan fakta yang menunjukkan bahwa persepsi tersebut keliru. Pembentukan DPD GRIB di seluruh Indonesia, kebetulan saya ikut berproses di dalamnya, melibatkan beragam latar belakang pengurus dan anggota, termasuk pengusaha, akademisi, anggota partai politik, tenaga kesehatan, pelaku UMKM, masyarakat marginal, hingga mereka yang belum memiliki pekerjaan.
Kegiatan ormas kami sangat beragam, berfungsi sebagai wadah aspirasi, penyalur kegiatan positif, sarana pemberdayaan masyarakat, serta penjaga norma dan nilai-nilai. Ormas juga berperan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta memberikan pelayanan sosial. Salah satu aspek positif yang sering terabaikan adalah hubungan simbiosis mutualisme antara anggota dan pengurus. Contohnya, di DPD Jakarta, pengusaha membantu mencarikan pekerjaan bagi kader yang membutuhkan.
Kami menyadari adanya sentimen negatif terhadap ormas, yang disebabkan oleh persepsi keliru dan kurangnya upaya ormas dalam membangun citra positif di mata publik.
Reaksi GRIB terhadap isu ini didasari oleh pernyataan DPD Jawa Barat yang sejak awal menyerukan agar ormas dirangkul. Pernyataan Ketua DPD Jabar kepada Harian Kompas terkait isu premanisme yang mengganggu investasi, yang mengajak untuk berdiskusi dan membuktikan peran positif ormas, justru disalahartikan sebagai bentuk perlawanan. Framing media yang cenderung negatif serta pernyataan politikus yang didasarkan pada fenomena sesaat, bukan substansi, memperkeruh suasana.
Kami melihat bahwa fokus pemberitaan lebih tertuju pada siapa yang menyampaikan pesan, bukan pada substansi pesan itu sendiri. Ajakan berdiskusi Ketua DPD Jabar justru dianggap sebagai perlawanan terhadap upaya pemerintah memberantas premanisme. Kami memahami bahwa jika pernyataan serupa datang dari institusi lain, sentimen negatif terhadap ormas tidak akan sekuat ini.
Sorotan terhadap GRIB, sebagai salah satu ormas terbesar, kami terima sebagai bagian dari dinamika dan proses pembelajaran, serta pembenahan diri. Kami tidak ingin terpengaruh oleh framing negatif dan akan terus menjalankan fungsi serta peran kami sesuai program yang telah dirumuskan, termasuk arahan Ketua Umum kami, Bapak H. Hercules Rozario Marshall.
Pernyataan “jangan ganggu kami” perlu dipahami dalam konteks substansi, bukan sekadar fenomena. Sejak awal, kami telah menyatakan bahwa ormas perlu dirangkul, bukan distigmatisasi. Namun, realitas yang kami hadapi jauh berbeda dengan persepsi publik. Peristiwa di Depok, misalnya, kami duga sebagai upaya cipta kondisi untuk memperkuat sentimen negatif terhadap ormas. Klarifikasi kami bahwa pelaku bukan kader GRIB diabaikan, dan justru muncul narasi perlawanan terhadap aparat negara dari seorang politikus yang partainya juga memiliki ormas. Inilah yang sangat kami sayangkan.
Kesimpulan saya adalah, persepsi negatif terhadap ormas kepemudaan seringkali didasarkan pada generalisasi yang keliru dan pemberitaan yang tidak berimbang. Ormas memiliki peran positif dan beragam dalam masyarakat. Menurut saya, stigmatisasi dan framing negatif hanya akan menghambat potensi ormas untuk menjadi mitra strategis dalam pembangunan bangsa.
Marcel Gual
Kabid Media dan Publikasi DPP GRIB JAYA