Jakarta, TERBITINDO.COM – Kita sering kali merasa tergerak saat mendengar kisah sedih orang lain.
Namun, tahukah kamu bahwa rasa simpati yang mendalam bisa membawa dampak negatif bagi kesehatan mental kita?
Mari kita eksplor lebih dalam tentang fenomena yang dikenal sebagai Secondary Traumatic Stress.
Sebagian besar dari kita pasti pernah merasakan trauma akibat pengalaman buruk, seperti bullying, hubungan yang merusak, atau bahkan bencana alam.
Pengalaman-pengalaman ini bisa meninggalkan jejak yang mendalam pada kesehatan mental korban.
Namun, hal yang mungkin kurang kita sadari adalah bahwa orang-orang di sekitar korban juga dapat merasakan dampak yang sama.
Inilah yang dikenal sebagai Secondary Traumatic Stress (STS).
Apa Itu Secondary Traumatic Stress?
Menurut HelloSehat, Secondary Traumatic Stress adalah kondisi di mana seseorang merasakan trauma karena mendengar atau menyaksikan pengalaman buruk orang lain.
STS bisa muncul dengan cepat atau berkembang secara perlahan.
Ada dua kondisi yang sering dialami, yaitu Vicarious Trauma, di mana seseorang yang ingin membantu orang lain justru terjebak dalam emosi mereka sendiri.
Burnout, yang muncul akibat terlalu lama terpapar situasi emosional yang tidak sehat.
Apa yang Menyebabkan STS?
Frekuensi dan detail kejadian traumatis yang disaksikan dapat memengaruhi perkembangan STS.
Semakin sering dan mendetail informasi yang diterima, semakin besar kemungkinan seseorang mengalami STS.
Beberapa faktor penyebabnya antara lain:
– Pengalaman Traumatis: Mendengar atau menyaksikan cerita traumatis orang lain dapat memicu rasa trauma.
– Koneksi Empatik: Rasa empati yang mendalam terhadap korban dapat meningkatkan risiko STS.
– Peran Profesional: Pekerja seperti terapis, dokter, dan reporter yang sering berinteraksi dengan korban trauma sangat rentan terhadap STS.
– Paparan Media: Konten media sosial atau berita yang mengandung unsur tragis juga dapat berkontribusi.
– Riwayat Pribadi: Seseorang dengan pengalaman traumatis sendiri lebih rentan terhadap STS ketika menghadapi kisah serupa.
– Efek Kumulatif: Paparan berulang terhadap peristiwa traumatis meningkatkan risiko STS.
– Kurangnya Dukungan: Tanpa dukungan emosional yang memadai, seseorang lebih mudah terjebak dalam STS.
Siapa yang Rentan Terhadap STS?
Menurut Mind Journal, siapa pun bisa terkena STS, tetapi mereka yang dekat dengan korban, seperti keluarga atau teman, berisiko lebih tinggi.
Pekerja profesional di bidang kesehatan mental dan keselamatan juga sangat rentan karena mereka sering berempati dengan korban dan merasakan dampak emosional yang lebih kuat.
Gejala-Gejala yang Perlu Diwaspadai
Beberapa gejala umum dari STS yang mungkin muncul meliputi:
– Kesulitan tidur
– Kelelahan emosional
– Peningkatan empati yang berlebihan
– Rasa bersalah yang tidak beralasan
– Kewaspadaan tinggi
– Pikiran yang mengganggu
– Rasa rendah diri karena merasa tidak dapat membantu korban
Menangani Secondary Traumatic Stress
Jika kamu atau seseorang di sekitarmu mengalami gejala STS, penting untuk mencari bantuan.
Berikut beberapa metode yang bisa membantu:
– Terapi: Mencari bantuan dari profesional kesehatan mental yang berpengalaman sangatlah penting. Terapi seperti EMDR atau TF-CBT bisa sangat membantu.
– Perawatan Diri: Melakukan aktivitas yang menyenangkan, berolahraga, dan menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sangat penting untuk pemulihan.
– Sistem Dukungan:Dukungan dari orang-orang terdekat dapat memberikan pemahaman dan ruang untuk berbagi pengalaman.
– Mindfulness dan Meditasi: Latihan mindfulness dapat membantu mengatur emosi dan mengurangi stres.
– Mempelajari Trauma: Meningkatkan pengetahuan tentang trauma bisa membantu memahami dan berdamai dengan pengalaman yang dialami.
– Refleksi Diri: Menuliskan perasaan dan pengalaman dalam jurnal bisa membantu menemukan akar masalah.
– Gaya Hidup Sehat: Menjaga pola makan yang baik, berolahraga, dan tidur yang cukup mendukung kesehatan mental secara keseluruhan. (Abet)