Realitas Kemitraan Pengemudi Ojol dan Aplikator dalam Sorotan Kementerian HAM

by -917 Views

Jakarta, TERBITINDO.COM  – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) menyampaikan temuan penting terkait dinamika hubungan kerja antara pengemudi ojek online dan perusahaan penyedia aplikasi.

Dalam pernyataan resminya, Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Munafrizal Manan, menyebut bahwa hubungan kemitraan yang selama ini diklaim oleh para aplikator sejatinya sarat ketimpangan kekuasaan.

Disampaikan dalam pemaparan laporan tindak lanjut pengaduan dari Koalisi Ojek Nasional di Kantor KemenHAM, Jakarta, pada Selasa (1/7/2025), Munafrizal menekankan bahwa kekuatan negosiasi antara kedua pihak sangat tidak seimbang.

“Posisi tawar penyedia aplikasi jauh lebih tinggi dan dominan dibandingkan pengemudi ojol,” tegasnya, membuka realitas yang selama ini tersembunyi di balik istilah “kemitraan”.

Munafrizal menjelaskan lebih lanjut bahwa kondisi ketimpangan ini memaksa para pengemudi ojol untuk menerima berbagai skema yang ditetapkan secara sepihak oleh pihak aplikator.

Tak peduli apakah diterima dengan rela atau karena keterpaksaan, posisi para pengemudi tetap berada di bawah kendali sistem yang tidak memberi ruang negosiasi.

Skema-skema tersebut, dari ketentuan tarif hingga aturan kerja, menurut Munafrizal, menunjukkan bahwa hubungan antara pengemudi dan aplikator bukanlah kemitraan sejati, melainkan hubungan subordinatif.

“Pengemudi ojol berada dalam posisi inferior terhadap aplikator yang memiliki kontrol penuh atas sistem,” ujarnya.

Kondisi ini semakin kompleks ketika melihat peran aplikator dalam membentuk keseluruhan sistem layanan transportasi digital.

Menurut Munafrizal, peran penuh aplikator mulai dari perancangan hingga operasionalisasi sistem membuat regulasi negara terhadap ekosistem ini menjadi sangat terbatas.

Pemerintah, dalam banyak hal, kehilangan ruang intervensi. Ini berarti kontrol sepenuhnya ada di tangan perusahaan aplikasi, sementara para pengemudi — sebagai mitra — tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dari negara.

“Sistem layanan online yang sepenuhnya dirancang oleh aplikator menjadikan posisi pengemudi makin rentan karena tidak ada kontrol regulatif yang seimbang,” jelasnya.

Salah satu keluhan utama yang diangkat oleh para pengemudi ojol dalam laporan pengaduan adalah mengenai skema pemotongan pendapatan.

Dalam praktiknya, perusahaan aplikasi mengambil potongan sebesar 20 hingga 30 persen dari setiap perjalanan yang diselesaikan oleh pengemudi.

Artinya, dari tarif Rp20.000 untuk satu perjalanan, hanya sekitar Rp14.000 hingga Rp16.000 yang benar-benar diterima pengemudi.

Sementara itu, seluruh biaya operasional — mulai dari bahan bakar, perawatan kendaraan, hingga kuota internet — harus ditanggung sendiri oleh para pengemudi.

“Beban biaya operasional sepenuhnya ada di pundak pengemudi, sedangkan potongan tetap diberlakukan tanpa negosiasi,” kata Munafrizal, menggambarkan beratnya tekanan ekonomi yang dialami para pekerja lapangan ini.

Tidak hanya potongan pendapatan, pengemudi ojol juga mengeluhkan tekanan dari program-program insentif yang diklaim bersifat sukarela oleh aplikator.

Salah satu contohnya adalah program “Bike Hemat” yang diperkenalkan sebagai alternatif dari layanan “Bike Standar”.

Meski bersifat opsional di atas kertas, pada praktiknya, program ini memberikan tekanan terselubung kepada pengemudi agar ikut serta.

Keikutsertaan dalam program tersebut berdampak pada algoritma distribusi order, yang sering kali membuat pengemudi merasa terpaksa untuk ikut demi tetap mendapatkan penumpang.

Dengan kata lain, “sukarela” hanyalah formalitas administratif yang tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. (ns)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.