AKM Desak Hentikan Privatisasi Pulau Padar

by -589 Views

NTT,TERBITINDO.COMDi tengah derasnya arus investasi pariwisata, Pulau Padar—permata Taman Nasional Komodo yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia—kini terancam oleh rencana pembangunan vila mewah.

Pada Selasa (16/9/2025), ratusan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Komodo Memanggil (AKM) turun ke jalan Jakarta, mendesak pemerintah menghentikan privatisasi kawasan konservasi yang dinilai merampas ruang hidup masyarakat sekaligus merusak ekosistem Komodo.

Aksi yang berlangsung di depan Istana Negara dan Kantor Kementerian Kehutanan itu merupakan bentuk perlawanan yang tegas terhadap privatisasi kawasan konservasi ini.

Dengan spanduk dan orasi yang membakar semangat, massa menyampaikan penolakan terhadap rencana pembangunan ratusan vila mewah di Pulau Padar.

Bagi mereka, proyek ini bukan sekadar pembangunan biasa, melainkan sebuah ancaman nyata terhadap hukum konservasi, hak masyarakat lokal, dan bahkan status Pulau Padar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Koordinator AKM, Astra Tandang, dalam orasinya menegaskan bahwa rencana pembangunan vila tersebut adalah bentuk nyata privatisasi kawasan konservasi.

Ia menilai pemerintah melanggar aturan yang seharusnya melindungi Pulau Padar dari kepentingan bisnis eksklusif.

“Pulau Padar bukan untuk dijual kepada investor. Undang-undang sudah jelas melarang, pemerintah harus menghentikan proyek ini sekarang juga,” ujarnya.

Penolakan AKM semakin kuat ketika mereka menguraikan rencana detail pembangunan. PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), selaku pengembang, mengantongi izin untuk membangun 619 unit vila, spa, restoran, gym, hingga kapel pernikahan dengan konsesi selama 55 tahun.

Menurut AKM, proyek sebesar itu bukan hanya mengubah wajah Pulau Padar, tetapi juga menggerus hak masyarakat sekitar yang selama ini hidup berdampingan dengan alam.

“Ini bentuk perampasan ruang hidup masyarakat sekaligus ancaman serius bagi keberlanjutan Taman Nasional Komodo,” tegas Astra lagi.

Bagi AKM, alasan penolakan bukan sekadar emosional, melainkan berlandaskan fakta hukum dan data lapangan.

Pertama, Pulau Padar adalah kawasan konservasi yang dilindungi lewat Keputusan Menteri Kehutanan No. 172/Kpts.-II/2000. Sebagai warisan dunia, kawasan ini memiliki nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value/OUV) yang wajib dijaga. UNESCO bahkan sudah memberi sinyal bahaya bahwa pembangunan berskala besar bisa mengancam status tersebut.

Kedua, persoalan agraria yang dianggap timpang semakin memperkeruh situasi. PT KWE disebut menguasai 274,13 hektar atau hampir 20 persen luas Pulau Padar, dengan izin hingga tahun 2069.

Dari luasan tersebut, 15,75 hektar direncanakan untuk pembangunan vila, sementara masyarakat lokal hanya memiliki ruang pemukiman 26 hektar untuk lebih dari 2.000 jiwa.

Ketidakadilan ini membuat masyarakat seolah tersingkir dari tanah kelahiran mereka sendiri.

Selain itu, AKM juga menyoroti dugaan adanya korupsi kebijakan dalam proses perizinan.

Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) yang diberikan kepada PT KWE disebut tidak melalui konsultasi publik yang transparan.

Nama-nama besar seperti pengusaha Tomy Winata dan politisi Setya Novanto sempat dikaitkan dalam dinamika proyek ini.

Bahkan, DPRD Manggarai Barat pernah menolak pembangunan vila karena dinilai bertentangan dengan kepentingan masyarakat setempat.

Tak berhenti di situ, AKM menilai proyek ini berpotensi menciptakan monopoli bisnis pariwisata.

Dengan modal dan jejaring politik yang kuat, investor besar bisa menguasai akses utama Pulau Padar.

Sementara itu, masyarakat lokal hanya diposisikan sebagai penonton, jauh dari model pariwisata berbasis komunitas yang adil dan berkelanjutan.

AKM juga mengingatkan dampak buruk jika proyek ini tetap berjalan. Habitat Komodo dikhawatirkan rusak akibat konstruksi dan polusi.

Keaslian lanskap Pulau Padar yang menjadi daya tarik wisata alam bisa hilang, sementara masyarakat lokal makin termarginalkan.

Lebih dari itu, status UNESCO sebagai warisan dunia terancam dicabut jika nilai universal luar biasa kawasan ini terganggu.

Dari aksi mereka di Jakarta, AKM membawa lima tuntutan konkret. Pertama, pemerintah diminta segera mencabut izin pembangunan vila di Pulau Padar.

Kedua, evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin dan zonasi di Taman Nasional Komodo agar sesuai dengan prinsip konservasi.

Ketiga, pengakuan terhadap hak agraria masyarakat lokal serta keterlibatan mereka dalam pengelolaan pariwisata.

Keempat, keterbukaan penuh terhadap dokumen perizinan termasuk analisis dampak lingkungan (Amdal).

Dan kelima, penghentian monopoli bisnis dengan mendorong pariwisata berbasis komunitas yang adil serta ramah lingkungan.

Gerakan ini menandai titik penting perjuangan masyarakat sipil dalam menjaga Pulau Padar tetap menjadi ruang hidup alami, bukan komoditas investasi. Di balik keindahan panorama yang memikat wisatawan dunia, tersimpan pertarungan panjang antara konservasi, keadilan sosial, dan ambisi bisnis yang kian rakus.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.