Jakarta, TERBITINDO.COM – Sosok seorang ibu bernama Ana dengan jilbab pink tiba-tiba menjadi ikon baru gerakan sipil di ibu kota. Keberaniannya berdiri menghadapi aparat menjadikan warna merah muda bergeser makna, dari simbol kelembutan menjadi tanda perlawanan.
Namun, ketenarannya tak berlangsung mulus. Sebuah video yang menampilkan dirinya memaki Presiden RI Prabowo Subianto dan menyerukan nama Anies Baswedan mendadak viral, memicu perdebatan sengit. Banyak warganet meragukan keaslian video tersebut, bahkan menudingnya sebagai hasil manipulasi digital berbasis deepfake.
Fenomena ini bermula saat aksi massa di Senayan hingga Polda Metro Jaya, akhir Agustus lalu. Ana tampil mencolok dengan jilbab pink, berdiri tegar di hadapan tameng aparat pada hari yang mendung. Kehadirannya melahirkan simbol gerakan baru bertajuk “17+8 Tuntutan Rakyat.” Warna pink Ana dipasangkan dengan hijau—yang identik dengan Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob.
Dari kombinasi “brave pink” dan “hero green,” lahir gelombang dukungan lintas komunitas. Media sosial dipenuhi unggahan profil berbalut dua warna tersebut, menjadikannya simbol solidaritas dan empati kolektif. Dari perspektif psikologi warna, hal ini memperkuat ikatan emosional publik hingga berubah menjadi dorongan aksi nyata.
Namun popularitas Ana goyah setelah video kontroversial itu muncul. Beberapa netizen menunjukkan kejanggalan teknis—mulai dari latar belakang yang bergerak tak wajar, pencahayaan yang berubah-ubah, hingga detail jalanan yang tidak konsisten. Sejumlah pengguna bahkan membandingkan rekaman asli dengan video yang beredar, dan menemukan perbedaan mencolok.
Kontroversi semakin meluas ketika figur publik ikut bersuara. Denny Sumargo, misalnya, memilih mengganti foto profilnya dengan merah putih sebagai tanda netralitas. Keputusan itu menuai pro dan kontra: ada yang menganggapnya meredam perpecahan, ada pula yang menilai justru memperkeruh perdebatan.
Terlepas dari silang pendapat, Ana dengan jilbab pink kini telah menjadi ikon yang sarat makna sekaligus kontroversi. Ia membuka ruang diskursus besar tentang batas antara simbol perlawanan, propaganda, serta manipulasi digital. Publik kini menunggu klarifikasi—baik dari Ana sendiri maupun pihak yang menyebarkan video tersebut. (abet)





