Jakarta, TERBITINDO.COM – Gelombang aksi demonstrasi di berbagai daerah Indonesia dalam sepekan terakhir mendapat sorotan tajam dari dunia internasional.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights/OHCHR) mendesak investigasi mendalam terkait dugaan pelanggaran HAM yang muncul akibat bentrokan antara aparat dan massa.
Sementara itu, pemerintah Indonesia menegaskan langkah penanganan sudah dilakukan lebih cepat bahkan sebelum desakan PBB muncul.
Dalam keterangannya kepada The Straits Times pada Selasa (2/9/2025), juru bicara OHCHR, Ravina Shamdasani, menegaskan perlunya investigasi cepat, menyeluruh, dan transparan atas dugaan pelanggaran HAM selama aksi massa.
Ravina menekankan bahwa penggunaan kekuatan oleh aparat keamanan, baik polisi maupun militer, wajib mematuhi prinsip-prinsip dasar internasional mengenai penggunaan senjata api.
Ia juga mengingatkan pemerintah Indonesia agar tetap menjunjung tinggi hak berkumpul secara damai dan kebebasan berekspresi.
Menurutnya, norma internasional harus menjadi acuan dalam menjaga ketertiban umum, terutama ketika ribuan orang turun ke jalan menyuarakan aspirasinya.
Tak hanya itu, Ravina juga menyoroti peran media. Ia menegaskan bahwa jurnalis harus diberi ruang untuk meliput tanpa intimidasi maupun pembungkaman, karena kebebasan pers merupakan pilar penting dalam menjaga demokrasi.
“Kami mengikuti dengan cermat rangkaian kekerasan di Indonesia dalam konteks demonstrasi berskala nasional. Dialog harus dikedepankan agar aspirasi publik dapat dijawab dengan tepat,” ujar Ravina.
Gelombang Demo dan Korban Jiwa
Sejak Senin (25/8/2025), aksi protes menolak kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR RI merebak di berbagai daerah, mulai dari Jakarta hingga Makassar.
Awalnya berlangsung damai, namun di beberapa titik situasi berujung bentrokan dengan aparat. Bentrokan itu menimbulkan korban jiwa dan luka-luka, serta kerusakan fasilitas umum akibat aksi anarkis yang tak terkendali.
Salah satu peristiwa paling tragis terjadi pada Kamis (28/8/2025), ketika seorang driver ojek online, Affan Kurniawan, tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob di tengah kericuhan. Kasus ini segera menjadi sorotan publik sekaligus memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak.
Hingga kini, jumlah korban jiwa yang terkonfirmasi mencapai delapan orang. Rinciannya, empat orang tewas di Makassar, satu mahasiswa di Yogyakarta, dua korban jiwa di Jakarta, satu di Solo, dan satu lagi di Yogyakarta.
Data tersebut menunjukkan bahwa eskalasi kekerasan dalam aksi massa telah meluas di berbagai daerah.
Sudah Telat
Menanggapi pernyataan OHCHR, Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menyebut desakan PBB datang terlambat.
Menurutnya, pemerintah Indonesia sudah mengambil langkah lebih dulu, bahkan tiga hari sebelum pernyataan Ravina disampaikan.
“Telat! Indonesia telah bertindak lebih cepat tiga hari dibanding OHCHR,” kata Pigai dalam keterangan tertulis, Selasa (2/9/2025).
Ia menegaskan, Presiden Prabowo langsung turun tangan pada Jumat (29/8/2025), sehari setelah kabar meninggalnya Affan Kurniawan tersiar.
Presiden, lanjut Pigai, bahkan menemui keluarga korban sebagai bentuk tanggung jawab moral sekaligus penghormatan terhadap hak asasi warganya.
Tak berhenti di situ, pada Minggu (31/8/2025), Prabowo mendeklarasikan komitmen pemerintah untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berkumpul, sesuai dengan aturan hukum dan standar HAM internasional sebagaimana tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
“Proses hukum saat ini berjalan secara transparan, pemerintah menjaga kebebasan berekspresi, dan pemulihan bagi para korban juga sedang dilaksanakan,” tegas Pigai.
Meski pemerintah mengeklaim langkah cepat telah dilakukan, sorotan PBB menunjukkan adanya perbedaan persepsi terkait penanganan aksi protes di Indonesia.
Di satu sisi, OHCHR menekankan perlunya evaluasi menyeluruh dan jaminan prinsip HAM dalam tindakan aparat.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa standar tersebut sudah diterapkan, bahkan lebih cepat dari desakan internasional. (ns)







