Jurnalis Jadi Korban: AJI Kecam Kekerasan dan Intervensi saat Aksi Unjuk Rasa

by -496 Views

Jakarta, TERBITINDO.COM – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam keras berbagai bentuk kekerasan dan intervensi yang dialami jurnalis serta media saat meliput aksi demonstrasi 25–30 Agustus 2025. G

elombang protes yang terjadi di sejumlah daerah diwarnai dengan bentrokan, penjarahan, serta tindakan represif aparat.

Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, menyebut situasi tersebut menempatkan jurnalis dalam posisi yang sangat rentan.

“Di tengah gejolak politik-sosial, publik justru membutuhkan liputan yang akurat, independen, dan bisa dipercaya. Upaya pembungkaman media berpotensi menyuburkan hoaks,” ujarnya dalam siaran pers, yang diterima media ini, Senin (1/9/2025).

Catatan Kekerasan

Data AJI mencatat, sejak awal 2025 hingga 31 Agustus, terjadi 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media, mulai dari intimidasi, teror, hingga serangan digital. Banyak di antaranya diduga dilakukan oleh aparat militer dan kepolisian.

Dalam sepekan terakhir, beberapa jurnalis mengalami kekerasan ketika meliput demonstrasi di Jakarta, Bali, dan Jambi. Di antaranya jurnalis foto Antara, Bayu Pratama S, yang mendapat perlakuan kasar saat meliput aksi di DPR RI Senayan pada 25 Agustus. Dua jurnalis foto dari Tempo dan Antara juga dipukul orang tak dikenal saat berada di sekitar Mako Brimob, Kwitang, Jakarta Pusat, pada 28 Agustus malam.

Kasus lain menimpa jurnalis Jurnas.com yang diintimidasi ketika merekam aksi ricuh di DPR RI, sementara di Bali dua wartawan dianiaya aparat ketika meliput di Polda Bali dan DPRD Bali. Di Jambi, delapan jurnalis terjebak di area Kejati saat kerusuhan, bahkan mobil dinas Pemred Tribun Jambi ikut dibakar massa.

Pada 31 Agustus dini hari, seorang jurnalis TV One ditangkap, dipukul, dan diintimidasi ketika melakukan siaran langsung di media sosial. Bahkan jurnalis pers mahasiswa menjadi korban penyiraman air keras saat meliput di Polda Metro Jaya.

Intervensi terhadap Media

Selain kekerasan fisik, AJI juga menyoroti adanya intervensi terhadap media. Beberapa media diminta hanya menyajikan berita yang “sejuk” serta diminta tidak melakukan siaran langsung dari lokasi. AJI menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk pembungkaman yang membahayakan demokrasi.

“Pelarangan ini menghambat kebebasan pers dan berpotensi menyesatkan publik karena informasi justru beralih ke media sosial yang rawan disinformasi,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung.

Tuntutan AJI

Dalam pernyataannya, AJI Indonesia menegaskan lima sikap:

  1. Mengecam segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan perusakan terhadap jurnalis.
  2. Mendesak penegak hukum mengusut dan mengadili pelaku, termasuk aparat yang terlibat.
  3. Menolak pembungkaman media yang justru memperkuat hoaks.
  4. Mengingatkan semua pihak agar menghormati kerja jurnalistik dan tidak menghalangi liputan aksi.
  5. Menekankan bahwa kerja jurnalis dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

AJI menutup pernyataan dengan mengingatkan bahwa kebebasan pers adalah syarat mutlak demokrasi. “Upaya pembungkaman hari-hari ini mengingatkan kita pada praktik represif Orde Baru. Kebebasan pers bukan barang yang bisa dinegosiasikan,” tegas Nany.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.