Bandung, TERBITINDO.COM – Kebijakan kontroversial muncul dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menetapkan batas maksimal siswa di satu kelas mencapai 50 orang.
Keputusan ini tertuang dalam Kepgub Jawa Barat No. 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang teknis pencegahan anak putus sekolah di jenjang pendidikan menengah. Reaksi publik dan lembaga pun langsung bermunculan.
Kebijakan tersebut bertujuan mulia: membuka akses pendidikan lebih luas bagi siswa dari kalangan tak mampu, korban bencana, anak panti asuhan, hingga yang berada dalam lingkungan sosial rentan.
Pemerintah berharap langkah ini dapat meningkatkan partisipasi pendidikan di tingkat SMA dan SMK, serta menjamin hak pendidikan warga Jawa Barat secara merata.
Sasaran program ini adalah sekolah-sekolah negeri seperti SMA, SMK, dan SMA Terbuka.
Mereka diminta menampung maksimal 50 siswa per kelas, disesuaikan dengan luas ruang belajar. Namun, angka ini dinilai melampaui batas ideal yang ditetapkan dalam regulasi nasional.
Ombudsman Jabar
Ketua Perwakilan Ombudsman Jawa Barat, Dan Satriana, mengkritisi keputusan ini sebagai langkah yang berpotensi melanggar aturan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).
Ia menilai bahwa kebijakan itu seharusnya dimasukkan dalam tahap perencanaan awal penerimaan siswa, bukan diumumkan mendadak di tengah proses.
Meski pengecualian diperbolehkan dalam kondisi tertentu—seperti sekolah baru, kelas rangkap, atau daerah khusus—Dan menegaskan bahwa syarat-syarat tersebut tidak berlaku secara umum.
Kebijakan Dedi, menurutnya, juga bertentangan dengan aturan keterlibatan sekolah swasta saat daya tampung sekolah negeri terbatas.
Ombudsman pun memperingatkan potensi munculnya “siswa titipan” dan ketidakpercayaan publik terhadap transparansi SPMB.
Selain itu, sekolah swasta dikhawatirkan akan merasa dipinggirkan oleh kebijakan ini, padahal selama ini mereka turut berkontribusi besar terhadap pendidikan di Jawa Barat.
Forum Kepala Sekolah
Forum Kepala Sekolah SMA Swasta Jawa Barat pun angkat suara. Mereka secara terbuka meminta Gubernur Dedi Mulyadi mencabut kebijakan yang dianggap tidak sesuai regulasi dan mengancam eksistensi sekolah swasta.
Ketua forum, Ade D. Hendriana, menyebut bahwa aturan baru ini bisa menghancurkan persaingan sehat antara sekolah negeri dan swasta.
Ia khawatir, jika siswa terlalu banyak dialihkan ke sekolah negeri, sekolah swasta bisa gulung tikar. Ade juga menilai bahwa keputusan ini tidak melewati pembahasan bersama dalam proses SPMB yang hampir rampung.
Forum ini bahkan mengancam akan membawa persoalan ini ke ranah hukum. Surat terbuka telah dikirimkan kepada Presiden Prabowo Subianto, Menteri Pendidikan, DPR, hingga Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta.
Jika tidak ada tindak lanjut, mereka siap menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kebijakan Sementara
Menanggapi kegaduhan ini, Gubernur Dedi Mulyadi menyatakan bahwa kebijakan kelas berisi 50 siswa bersifat sementara.
Ia menegaskan, kebijakan ini hanya berlaku hingga pembangunan ruang kelas baru selesai, paling lambat Januari 2026.
Dedi menyebut Pemprov telah menggelontorkan dana Rp 100 miliar untuk membangun 736 ruang kelas tambahan.
Ia optimistis kondisi akan kembali normal dengan jumlah siswa per kelas maksimal 35 orang dalam waktu enam bulan ke depan.
Menurutnya, SMA dan SMK memiliki karakter pembelajaran yang berbeda dibanding SD atau SMP, sehingga jumlah siswa yang lebih banyak tidak terlalu berdampak.
Ia juga menegaskan bahwa kebijakan ini hanya berlaku di wilayah dengan keterbatasan sekolah dan untuk anak-anak yang secara geografis sulit menjangkau sekolah swasta.
Dedi menutup pernyataannya dengan menyebut bahwa keputusan ini adalah solusi darurat demi menyelamatkan lebih dari 200 ribu siswa yang lulus tapi tidak melanjutkan sekolah, serta 168 ribu anak yang tercatat putus sekolah di Jawa Barat.
“Angka putus sekolah di Jawa Barat tertinggi di Indonesia. Kami tidak bisa diam,” ujarnya. (ns)






