Wacana Naikkan Tarif Ojol 15 Persen Dinilai Blunder, Pemerintah Diminta Fokus Cabut Potongan Aplikator

by -568 Views

Jakarta, TERBITINDO.COM – Rencana pemerintah menaikkan tarif ojek online hingga 15 persen menuai kritik tajam.

Kebijakan ini dinilai hanya akan memperparah beban masyarakat dan tidak menyentuh akar persoalan utama yang selama ini dihadapi para pengemudi ojol.

Wacana menaikkan tarif ojek online (ojol) kembali mencuat dan memicu polemik. Kementerian Perhubungan melalui Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Aan Suhanan, menyatakan bahwa kajian terhadap perubahan tarif tersebut sudah hampir rampung dan akan segera diberlakukan.

Dalam pemaparannya di Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI, Senin (30/6/2025), Aan menyebut bahwa besaran kenaikan tarif akan bervariasi berdasarkan wilayah operasional.

“Kami sudah melakukan pengkajian dan sudah final untuk perubahan tarif, terutama roda dua, itu ada beberapa kenaikan. Bervariasi, kenaikan yang disebut ada 15 persen, ada 8 persen, tergantung dari zona yang kita tentukan,” ujarnya di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat.

Aan menambahkan bahwa para aplikator layanan ojol telah menyatakan persetujuan prinsip atas rencana ini.

Namun, sebelum diterapkan secara resmi, pihaknya akan kembali memanggil perusahaan aplikasi untuk memastikan kesiapan dan kesepakatan bersama terkait kebijakan ini.

Tarif ojol saat ini masih mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564/2022 yang berlaku sejak tiga tahun lalu. Berdasarkan aturan tersebut, sistem zonasi diberlakukan ke dalam tiga wilayah besar.

Zona I mencakup wilayah Sumatra, Jawa (di luar Jabodetabek), dan Bali dengan tarif Rp1.850 hingga Rp2.300 per kilometer.

Zona II mencakup Jabodetabek dengan tarif Rp2.600 hingga Rp2.700 per kilometer, sementara Zona III yang meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua dikenai tarif Rp2.100 hingga Rp2.600 per kilometer.

Namun, gagasan pemerintah menaikkan tarif justru dikritik berbagai pihak. Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai langkah tersebut tidak menjawab persoalan utama yang selama ini menghimpit para pengemudi ojol.

Dalam pandangannya, alih-alih menaikkan tarif, pemerintah seharusnya berani memangkas potongan yang dikenakan aplikator kepada para pengemudi yang bisa mencapai 20 persen dari setiap transaksi.

“Di tengah lemahnya daya beli masyarakat, jangan sampai kenaikan tarif ini malah kontraproduktif. Yang rugi bukan hanya penumpang, tapi juga driver ojol yang bisa kehilangan order karena masyarakat beralih ke moda transportasi lain seperti Transjakarta,” tegas Timboel saat diwawancarai media.

Ia menilai bahwa pemerintah selama ini terlalu lunak terhadap perusahaan aplikator.

Menurutnya, pemangkasan potongan hingga 10 persen merupakan langkah realistis yang justru akan lebih efektif dalam meningkatkan pendapatan pengemudi dibanding sekadar menaikkan tarif.

“Ini sebenarnya cerminan dari ketidakseriusan pemerintah, terutama Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan. Pemerintah harus berani membuat regulasi yang berpihak pada driver, bukan hanya sekadar wacana menaikkan tarif,” ujarnya menegaskan.

Lebih lanjut, Timboel memperingatkan bahwa jika kenaikan tarif ini dipaksakan, berbagai konsekuensi serius bisa muncul.

Penurunan jumlah penumpang, merosotnya pendapatan negara dari pajak transaksi digital, dan meningkatnya angka pengangguran menjadi ancaman nyata yang mengintai.

Ia menekankan bahwa pemerintah harus berperan sebagai pelindung, bukan sekadar pengatur kebijakan yang menguntungkan satu pihak.

“Yang penting sekarang adalah bukan menaikkan tarif, tapi melindungi driver ojol. Karena pemerintah adalah regulator yang mengatur, bukan diatur. Sudah saatnya kebijakan diarahkan untuk menyejahterakan pekerja, bukan malah memberatkan rakyat,” pungkasnya. (ns)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.