Jakarta, TERBITINDO.COM – Di saat Kepolisian Negara Republik Indonesia merayakan Hari Bhayangkara ke-79 pada 1 Juli 2025 dengan gegap gempita, kenyataan suram justru diungkap oleh KontraS.
Laporan terbaru mereka menunjukkan bahwa kekerasan aparat masih menjadi momok yang mengancam rasa keadilan publik dan memperlihatkan bahwa reformasi kepolisian masih jalan di tempat.
Momentum peringatan Hari Bhayangkara yang seharusnya menjadi ruang refleksi bagi Polri kembali dibayang-bayangi oleh catatan buruk kekerasan aparat.
Pada hari yang sama, KontraS merilis Kertas Kebijakan berjudul “Kekerasan yang Menjulang di Tengah Penegakan Hukum yang Timpang”—sebuah laporan mendalam mengenai praktik kekerasan dan penyalahgunaan kewenangan yang terus terjadi dalam tubuh kepolisian sepanjang satu tahun terakhir.
“Kami tidak hanya menyoroti kekerasan secara fisik, tetapi juga pelanggaran sistemik yang menunjukkan minimnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam institusi kepolisian,” ujar Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (1/72025).
Laporan tersebut, menurut KontraS, adalah bagian dari kontribusi sipil terhadap reformasi sektor keamanan yang telah lama didengungkan sejak Reformasi 1998.
Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa agenda reformasi berjalan lambat dan tidak menyentuh akar persoalan.
Kegagalan Profesionalisme Polri
Sepanjang periode Juli 2024 hingga Juni 2025, tercatat setidaknya 602 peristiwa kekerasan melibatkan aparat kepolisian.
Dari jumlah tersebut, 411 kasus merupakan penembakan oleh polisi, disusul oleh 38 peristiwa penyiksaan yang menimbulkan 86 korban—10 di antaranya meninggal dunia.
Selain itu, 37 kasus pembunuhan di luar proses hukum atau extrajudicial killing juga tercatat menyebabkan 40 korban jiwa.
“Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal nyawa manusia dan hak yang dirampas oleh aparat negara yang seharusnya menjadi pelindung,” kata Dimas menegaskan.
Tak berhenti di situ, sebanyak 44 kasus salah tangkap juga mencuat, menyebabkan 8 orang meninggal dan 35 lainnya luka-luka. Sementara itu, ruang kebebasan sipil juga terancam: 42 aksi demonstrasi dibubarkan secara paksa oleh polisi dalam setahun terakhir, mencerminkan pendekatan represif yang masih menjadi pola utama dalam merespons kritik publik.
KontraS juga mencatat total 1.020 orang menjadi korban pelanggaran oleh aparat, dengan mayoritas berasal dari kalangan mahasiswa.
Namun, korban kekerasan aparat tidak terbatas pada satu kelompok. Jurnalis, petani, siswa, masyarakat sipil, bahkan tenaga medis ikut terdampak.
Tekanan juga dirasakan para pembela HAM dan aktivis, yang kerap menjadi sasaran kriminalisasi.
Selama setahun terakhir, 62 peristiwa penangkapan terhadap aktivis tercatat, lima di antaranya mengakibatkan korban luka.
Fakta ini menunjukkan bahwa ruang aman untuk menyuarakan pendapat dan melakukan advokasi masih sangat sempit, bahkan di tengah negara demokrasi.
“Kita menyaksikan bagaimana hukum digunakan sebagai alat represi, bukan perlindungan. Ini sangat bertolak belakang dengan semangat reformasi,” kata peneliti KontraS, Ayu Andini.
Laporan KontraS juga menyoroti fenomena undue delay, di mana proses hukum terhadap aparat pelanggar berjalan lambat atau tidak jelas arahnya.
Kriminalisasi terhadap suara-suara kritis masyarakat masih terjadi, menunjukkan bahwa hukum seringkali dimanfaatkan untuk membungkam, bukan menegakkan keadilan.
Menurut KontraS, penyelesaian pelanggaran ini memerlukan tindakan konkret, mulai dari evaluasi internal hingga penguatan pengawasan eksternal.
Polri tak boleh terus berada di atas hukum. Sanksi pidana dan etik terhadap pelaku kekerasan harus ditegakkan agar institusi ini kembali mendapatkan kepercayaan publik.
Hari Bhayangkara seharusnya tidak menjadi seremoni kosong. Di tengah meningkatnya kritik publik, Polri didesak untuk melakukan reformasi struktural.
Komitmen terhadap prinsip profesionalisme, akuntabilitas, dan penghormatan HAM harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya pernyataan simbolik.
“Peringatan ini seharusnya menjadi momen kontemplatif bagi institusi kepolisian. Tanpa keberanian untuk berubah, maka setiap tahun Hari Bhayangkara hanya akan jadi perayaan penuh ironi,” tutup Dimas. (Ns)






