Keluarga Theresia Siul Tuntut Keadilan atas Dugaan Malpraktik dan Diskriminasi Pelayanan di RSCM

by -1453 Views

Jakarta, TERBITINDO.COM – Seorang perempuan asal Nusa Tenggara Timur bernama Theresia Siul (24), mengalami perubahan drastis dalam hidupnya setelah menjalani penanganan medis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Theresia yang semula masih bisa berjalan sendiri saat pertama kali datang, kini tak tak bisa lagi duduk, berdiri, bahkan tidur dengan tenang. Luka besar menganga di belakang bokonya.

Pihak keluarga menilai seluruh penderitaan ini terjadi akibat dugaan malpraktik, kelalaian medis, dan diskriminasi terhadap pasien BPJS, serta sistem pelayanan yang tidak manusiawi.

“Kami menduga, kelalaian dalam tindakan medis, termasuk operasi tanpa penjelasan risiko yang memadai menjadi penyebab anak kami menderita seperti ini,” ungkap Since Ganggur, salah satu keluarga pasien, Selasa (10/06/2025).

Since juga menyebut, penderitaan yang dialami Theresia disebabkan karena terjadi penundaan prosedur medis vital seperti biopsi yang seharusnya dilakukan dengan profesional.

“Komunikasi juga sangat tidak transparan. Pasien dan keluarga berkali-kali tidak diberikan informasi jelas soal kondisi atau jadwal tindakan yang dilakukan pihak rumah sakit,” tambah Since.

Sejak menjadi pasien di RSCM, Since selaku tante Theresia menilai terdapat diskriminasi terhadap pasien BPJS, di mana pelayanan menjadi lebih cepat ketika pasien beralih ke jalur umum.

Selain itu, ia juga menyatakan bahwa terdapat pelecehan verbal oleh tenaga medis berupa pernyataan yang menyakitkan hati pasien dan anggota keluarga.

“Tanggal 21 Mei 2025, keluarga mengeluh karena terlalu lama menunggu obat. Namun, seorang petugas menjawab: pasien kami banyak, bukan hanya kalian. Kalo memang sudah ajal, ya mau diapakan,” ujar Since menirukan pernyataan tenaga medis tersebut.

Since bilang masih banyak fakta lain yang memperlihatkan perilaku tidak berperikemanusiaan pihak RSCM.

“Ada satu kejadian lain di mana anak kami diminta datang ke RSCM hanya untuk pengambilan sidik jari. Setibanya di RSCM, pasien terpaksa tidur di lantai pintu masuk Rawat Jalan karena ketiadaan tempat tidur dorong,” cerita Since.

Ia menyesalkan semua perilaku pihak RSCM yang sangat memandang sepele penyakit yang diderita pasien. Atas berbagai pertimbangan, keluarga akhirnya memindahkan pasien ke RSPAD Gatot Subroto.

Kronologi Kejadian

Theresia masuk ke RSCM pada 18 Maret 2025 sebagai pasien BPJS rujukan dari RS Siloam Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Ia didiagnosa massa mediastinum dextra, efusi pleura, dan cancer pain.

Saat itu, ia diketahui masih bisa berjalan. Namun sejak mendapat perawatan di RSCM, harapannya untuk sembuh perlahan berubah menjadi duka panjang akibat pelayanan medis yang sarat kelalaian dan diskriminasi.

Sejak awal, prosedur medis penting seperti CT Scan ditunda. Jadwal yang seharusnya segera dilakukan justru baru tersedia 29 April 2025, atau lebih dari satu bulan sejak kedatangan pertama.

Ketika keluarga beralih ke jalur umum berbayar, jadwal langsung dibuka keesokan harinya, 22 Maret 2025, dengan biaya Rp 4 juta lebih. Layanan cepat tampaknya hanya untuk yang mampu membayar.

Prosedur biopsi pertama dilakukan 9 April, namun gagal karena pengambilan sampel yang minim. Pasien harus menjalani biopsi kedua pada 29 April, saat ia telah terbaring di ruang rawat akibat tidak bisa buang air kecil spontan.

Keesokan harinya, 30 April, ia menjalani operasi bedah saraf yang hasilnya justru membuatnya lumpuh total. Ia yang sebelumnya berjalan kini tak lagi bisa duduk, berdiri, atau mengangkat tubuhnya.

Theresia dipulangkan 4 Mei 2025 dalam kondisi lumpuh, memakai kateter, luka di bokong mulai muncul, serta tanpa instruksi tertulis maupun edukasi perawatan luka dari petugas. Luka membusuk, nyeri makin hebat.

Saat kontrol pada 8 Mei, hanya jahitan yang dibuka tanpa tindak lanjut atau terapi saraf lanjutan. Pada 11 Mei, ia kembali dilarikan ke IGD karena kesakitan, namun disuruh pulang malam harinya.

Kondisi Theresia makin memburuk, tapi RSCM terus mewajibkannya hadir secara fisik untuk verifikasi administrasi. Pada 20 Mei, ia dibawa ke rumah sakit dalam kondisi sangat lemah.

Tidak ada ranjang dorong, sehingga ia terpaksa tidur di lantai lobi RSCM. Semua itu demi sidik jari yang menurut petugas tak bisa diwakilkan.

Tindakan biopsi ketiga yang dijadwalkan 27 Mei 2025 tiba-tiba dibatalkan tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan baru dilakukan 28 Mei.

Bahkan hasil pemeriksaan lanjutan seperti imunohistokimia dibatalkan mendadak melalui pesan singkat WhatsApp. Malam itu, Theresia menangis, menolak makan, dan kehilangan semangat hidup.

Akhirnya pada Sabtu (07/6/2025), keluarga menyerah. Mereka membawa Theresia ke RSPAD Gatot Subroto dalam kondisi lemah, luka besar terbuka di bokong, dan kateter masih terpasang.

Ia datang bukan lagi sebagai pasien BPJS, tetapi sebagai pasien umum karena kepercayaan pada sistem pelayanan publik sudah benar-benar sirna.

Tuntutan Keluarga

Dengan mempertimbangkan seluruh kronologi serta dampak yang ditimbulkan, keluarga Theresia mengajukan sejumlah tuntutan secara resmi yang dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, keluarga menuntut agar manajemen RSCM membentuk tim investigasi independen untuk menelusuri seluruh proses pelayanan yang diberikan kepada Theresia Siul.

“Hasil investigasi ini harus disampaikan secara terbuka kepada publik dan dilaporkan ke Komite Etik Rumah Sakit serta Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) untuk penanganan lebih lanjut,” ungkap Hendrik Maku, om pasien.

Kedua, RSCM diminta melakukan audit menyeluruh terhadap keputusan medis, prosedur yang dijalani pasien, serta dokumentasi administrasi, termasuk validitas rekam medis dan kesesuaian tindakan dengan protokol medis.

“Audit ini dinilai penting untuk menentukan apakah terdapat penyimpangan prosedur, penundaan non-medis, atau kelalaian profesional,” tambah Hendrik.

Ketiga, keluarga menuntut agar dokter, perawat, atau pihak manajemen yang lalai atau melanggar etika profesi diberikan sanksi tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keempat, mengingat penderitaan fisik dan mental yang dialami Theresia, keluarga menuntut pemberian kompensasi finansial sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum dari RSCM.

“Selain itu, pasien harus mendapatkan akses penuh atas rehabilitasi medis, termasuk fisioterapi, konseling psikologis, serta perawatan lanjutan secara gratis hingga pulih,” terang Hendrik.

Kelima, permintaan maaf resmi dari manajemen RSCM. Pihak RSCM diharapkan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan tertulis kepada pasien dan keluarganya.

Permintaan maaf ini menjadi bentuk pengakuan atas kesalahan sistem dan sebagai komitmen untuk memperbaiki mutu pelayanan ke depan.

Keenam, Perbaikan Sistem Layanan BPJS di RSCM untuk Mencegah Diskriminasi. Keluarga mendesak adanya evaluasi dan reformasi terhadap sistem layanan pasien BPJS di RSCM.

Sistem yang berlaku saat ini dinilai memperlambat penanganan, tidak ramah terhadap pasien dari kalangan tidak mampu, dan berpotensi memunculkan diskriminasi terhadap pasien non-umum.

Serupa, Chandra Goba selaku pengacara yang ikut serta mendampingi keluarga menegaskan bahwa dari rangkaian kronologi yang dijelaskan, ada dugaan kuat bahwa RCSM melakukan maladministrasi dan malpraktik.

“Kalau kita dengar penjelasan keluarga, maka ada dugaan kuat bahwa pihak RSCM tidak hanya melakukan malpraktik, tetapi juga maladministrasi,” jelas Chandra saat ditemui, Selasa (10/06/2025).

Karena itu, ia menegaskan agar pihak rumah sakit bertanggungjawab penuh terhadap persoalan yang tengah menimpa Theresia. Bentuk tanggung jawab itu dapat dilakukan dengan dua hal.

“Pertama, pihak rumah sakit harus bertanggungjawab untuk mengobati kembali pasien. Dia datang ke RSCM itu dalam keadaan bisa berjalan, tetapi sekarang justru lumpuh. Maka, pihak RSCM harus bertanggungjawab untuk menyembuhkannya,” tegas Chandra.

Selain itu, ia menyentil jenis tanggung jawab kedua, yakni dengan tetap membiarkan pasien dirawat di RSPAD Gatot Subroto, tetapi seluruh biaya pengobatan ditanggung pihak RSCM.

“Pasien itu lumpuh karena dirawat di RSCM, bukan di RSPAD. Alasan dia menjadi lumpuh juga tidak dijelaskan pihak RSCM. Karena itu, merekalah yang harus bertanggungjawab membiayai pasien, bukan keluarga,” ujar Chandra.

Ia menilai, RSCM sebagai rumah sakit rujukan nasional seharusnya menjadi pelopor keadilan dalam pelayanan kesehatan.

Chandra juga menyatakan bahwa laporan ini bukan semata-mata bertujuan untuk menyalahkan, melainkan demi memperjuangkan keadilan dan mencegah agar tragedi serupa tidak terjadi pada pasien lain di masa depan.

“Kami hanya ingin keadilan bagi adik Theresia dan pasien-pasien lain yang bernasib serupa. Rumah sakit seharusnya menjadi tempat penyembuhan, bukan menambah penderitaan,” pungkas Chandra. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.