Jakarta,TERBITINDO.COM – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengajukan tiga kasus sengketa ketenagakerjaan ke Dewan Pers, menyoroti perlunya perlindungan yang lebih baik bagi pekerja media.
Bersama dengan hasil survei kondisi pekerja freelance, AJI bertekad untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil bagi jurnalis di seluruh Indonesia.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia baru-baru ini melangkah maju dengan mengadukan tiga kasus sengketa ketenagakerjaan yang dialami oleh jurnalis di media ternama seperti CNN Indonesia, Pinusi.com, dan VOA.
Dalam upaya memperjuangkan hak-hak pekerja media, AJI juga menyerahkan dokumen hasil survei kondisi pekerja freelance.
Langkah ini diambil untuk memberikan masukan kepada Dewan Pers agar lebih peka terhadap perlakuan perusahaan media terhadap karyawan mereka.
Edi Faisol, Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia, menekankan bahwa ketiga kasus yang diadukan hanyalah contoh dari perlakuan buruk yang masih banyak terjadi di industri media.
Ia mengungkapkan bahwa banyak perusahaan media, baik nasional maupun daerah, melanggar hak-hak pekerjanya, meskipun mereka telah mendapatkan sertifikasi dari Dewan Pers.
“Ini hanya sampel, sedangkan hasil survei kami lampirkan tentang kondisi pekerja freelance secara nasional,” jelas Edi saat konferensi pers di kantor Dewan Pers, Jakarta.
Lebih lanjut, Edi menyoroti bahwa banyak perusahaan media, termasuk yang beroperasi di tingkat internasional seperti VOA, tidak mematuhi standar verifikasi Dewan Pers dan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Pemutusan hubungan kerja sepihak yang dialami mantan ketua AJI Indonesia, Sasmito, menjadi salah satu contoh nyata dari situasi ini.
Dengan kondisi yang mengkhawatirkan ini, AJI berkomitmen untuk terus mengawal isu ketenagakerjaan yang dihadapi oleh jurnalis.
AJI juga mendorong Dewan Pers untuk menjalin kerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan melalui MoU, dengan harapan agar hubungan industrial di sektor media dapat lebih terpantau dan adil.
“Jika perusahaan tidak mampu membayar jurnalisnya, lebih baik dicabut saja sertifikasinya daripada menimbulkan masalah,” tegas Edi.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengakui bahwa selama ini Dewan Pers terkesan hanya menangani sengketa konten berita. Padahal, seharusnya mereka juga mengawasi masalah ketenagakerjaan yang dihadapi jurnalis.
Dalam proses verifikasi media, terdapat syarat terkait kesejahteraan pekerja, termasuk upah yang layak dan asuransi.
Namun, Ninik juga mengakui adanya praktik manipulasi dokumen oleh beberapa perusahaan media saat verifikasi.
Ninik menegaskan pentingnya dialog konstruktif antara perusahaan media dan pekerja, terutama bagi jurnalis yang ingin mendirikan serikat pekerja.
Ia mengingatkan bahwa pendirian serikat pekerja adalah hak yang dijamin oleh UUD 1945, dan tidak boleh dihalang-halangi. “Ini adalah soal hak dasar manusia untuk berserikat dan berkumpul,” katanya.
Dewan Pers pun mendukung berdirinya serikat pekerja di perusahaan media, menjadikannya sebagai nilai tambah dalam syarat verifikasi.
Dalam konteks ini, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers, Totok Suryanto, menekankan bahwa banyak media di daerah bergantung pada dana pemerintah, yang bisa mengancam independensi jurnalistik.
Dengan berbagai langkah ini, Dewan Pers berkomitmen untuk membuat regulasi yang lebih ketat terkait pengawasan implementasi syarat administrasi bagi perusahaan media.
Harapannya, perlindungan terhadap hak-hak pekerja media dapat terwujud dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik. (Abet)