Ruteng, TERBITINDO.COM – Praktisi media, Odorikus Holang angkat bicara terkait persoalan pemberitaan yang berjudul “Yayasan SUKMA Diduga Tak Bayar Gaji Guru Komite Ruteng IV” edisi 12 Juni 2023. Berita tersebut dimuat oleh media online terbitindo.com.
Menurut Holang, perihal “kesalahan” penyajian berita yang keliru sebenarnya telah diatur dalam UU RI No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pada Pasal 1 Ayat 11 disebutkan adanya hak jawab, yaitu hak seseorang untuk menanggapi atau menyanggah pemberitaan yang merugikan nama baiknya.
“Hak jawab memberi kesempatan pada mereka yang diberitakan secara tidak benar. Mereka dapat menolak dan menyanggah pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Terutama pada hal-hal yang menyangkut kekeliruan atau ketidakakuratan fakta,” ujar Holang saat dihubungi, Sabtu (24/6/2023).
Lanjut Holang, aturan turunan pasal tersebut diatur dalam Peraturan Dewan Pers No. 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab mengatur bagaimana penggunaan dari hak tersebut. Hak jawab berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, dan profesionalitas.
“Hak jawab diajukan langsung kepada pers yang bersangkutan, dengan tembusan ke Dewan Pers, dan pers wajib melayani setiap hak jawab yang diterima,” jelasnya.
“Hak jawab diatur dalam UU Pers Pasal 1 Ayat 12 dimana setiap orang memiliki hak untuk mengoreksi dan membetulkan kekeliruan informasi yang dimuat oleh pers, baik itu yang menyangkut dirinya maupun orang lain,” tambahnya.
Dalam konteks ini, Desakan Kepala SDK Ruteng IV, Fransisca Nurhaina yang menuntut jurnalis dan media online terbitindo.com untuk meminta maaf atas pemberitaan yang diduga menyudutkan lembaga dan yayasan yang menaungi sekolahnya harus mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku.
“Ikuti amanah UU ini. Karena kerja pers dilindungi UU. Publik harus paham aturan ini. Selama tidak ada klarifikasi dari pihak yang merasa dirugikan, media pada prinsipnya menunggu klarifikasi tersebut,” bebernya.
Kasus kekeliruan seperti ini,kata Holang, tidak hanya terjadi di daerah. Tetapi selalu terjadi di Jakarta bahkan dilakukan oleh media mainstream. Pihak yang merasa dirugikan selalu menggunakan hak jawab sebelum menempuh jalur hukum apabila media terkait tidak memuat klarifikasi pihak yang dirugikan.
“Kasus seperti ini banyak. Tetapi selalu mengedepankan klarifikasi. Misalkan kasus di Ruteng IV dan Yayasan SUKMA harus membuat klarifikasi dan kirim ke media terkait. Media ini sudah taat etika jurnalistik,” tegasnya.
Sengketa media yang berujung dorongan permintaan maaf ini berawal dari pemberitaan yang berjudul “Yayasan SUKMA Diduga Tak Bayar Gaji Guru Komite Ruteng IV” edisi 12 Juni 2023.
Kepala SDK Ruteng IV, Fransisca Nurhaina pun menuntut jurnalis dan media online terbitindo.com untuk meminta maaf atas pemberitaan yang diduga menyudutkan lembaga dan yayasan yang menaungi sekolahnya.
Padahal pemberitaan tersebut telah diminta klarifikasi kepadanya. Namun Fransisca tidak mau hasil wawancara tersebut dipublikasikan. Upaya klarifikasi tersebut dilakukan pada tanggal 13 Juni 2023 di ruang kerja Fransisca di SDK RUTENG IV. Saat itu wartawan terbitindo bertandang ke sekolah tersebut tidak sendirian. Tetapi ditemani oleh dua rekan media.
Saat itu diperkirakan pukul 08.44 WITA, wartawan terbitindo melakukan wawancara dan bukti rekamannya masih tersimpan. Kemudian pada tanggal 21 Juni 2023, wartawan terbitindo menyambangi kantor yayasan SUKMA. Namun pihak yang ditemui tidak berada di lokasi. Pihak yang ada di kantor tersebut hanya operator Yayasan.
Sebagai informasi, bukti rekaman wawancara wartawan terbitindo dengan Fransisca masih tersimpan. Apabila Fransisca membantah rekaman tersebut, media ini akan kembali menemuinya dan memperdengarkan kepadanya isi rekaman tersebut.
Aristo Jeling