Caci Manggarai: Harmoni Budaya yang Terguncang oleh Konflik

by -243 Views

TERBITINDO.COM – Di balik dentum cambuk dan sorak penonton, pergelaran Caci di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, menyimpan persoalan serius.

Tradisi yang lahir sebagai simbol persaudaraan dan keberanian kini kerap tercoreng oleh konflik yang memanas.

Mengapa warisan leluhur ini berubah wajah? Dan bagaimana kita mengembalikan marwahnya?

Di tengah semarak pergelaran budaya Caci di Manggarai, ironi yang mengusik perasaan sulit diabaikan.

Ritual sakral yang dahulu dijunjung penuh hormat kini sering berujung pada perkelahian, mencederai makna luhur yang diwariskan leluhur.

Pertanyaan pun muncul: bagaimana tradisi yang seharusnya menjadi simbol persatuan justru berubah menjadi pemicu konflik?

Caci, seni bela diri tradisional Manggarai, bukan sekadar pertarungan antara dua orang yang saling mencambuk dan menangkis.

Caci adalah ritual yang memadukan ketangkasan, keberanian, sportivitas, serta penghormatan pada nilai-nilai adat.

Dahulu, hanya mereka yang matang secara umur dan emosional, memahami aturan serta siap menanggung risiko, yang diperkenankan menjadi pemain Caci.

Persaudaraan menjadi jantung tradisi ini—nilai yang seharusnya diwariskan pula kepada generasi muda Manggarai.

Namun sepanjang tahun 2025, beredar berbagai video di media sosial yang memperlihatkan sisi kelam perjalanan Caci hari ini.

Konflik, keributan, bahkan aksi kekerasan nyaris selalu muncul di akhir pergelaran.

Fenomena ini mengejutkan sekaligus menyedihkan, terutama bagi ase ka’e Manggarai yang tumbuh dalam tradisi Caci yang sakral.

Kekacauan semacam ini jelas bukan bagian dari warisan leluhur—alih-alih menjaga “Serong dise Empo, Mbate dise Ame”, kita justru mengabaikannya.

Dalam arena Caci seharusnya tak ada musuh; hanya saudara yang hadir mengasah keberanian dan ketangkasan melalui etika budaya.

Salah satu pemicu, meski bukan satu-satunya, adalah saling tantang di media sosial. Facebook, TikTok, dan platform lain dipenuhi video pendek yang memancing ego, memprovokasi, dan menanam bibit permusuhan bahkan sebelum pergelaran dimulai.

Akibatnya, ketika memasuki arena Caci, sebagian pemain sudah membawa dendam, bukan sportivitas. Ini jelas bukan bagian dari budaya Manggarai.

Sebagai pelaku budaya, ajakan untuk kembali pada nilai-nilai luhur Caci menjadi sangat penting.

Tradisi ini memuat filosofi yang patut dipertahankan:

Pertama, Keberanian. Keberanian dalam Caci bukan untuk mencari keributan, tetapi keberanian mengolah bakat dan menerima risiko dengan jiwa besar.

Kedua, Sportivitas. Segala kesalahan dalam pergelaran harus diselesaikan di arena, bukan di luar. Permintaan maaf dan saling memahami menjadi tanda kedewasaan budaya.

Ketiga, Persaudaraan. Caci adalah jembatan untuk menyatukan, bukan memecah; mencari musuh mudah, tetapi mencari saudara jauh lebih mulia.

Keempat, Kedewasaan. Pelaku Caci dituntut matang secara emosional karena kejadian tak terduga dapat muncul kapan saja.

Kelima, Penghormatan. Tradisi, leluhur, dan sesama wajib dihormati. “Serong dise Empo, Mbate dise Ame” adalah panggilan untuk menjaga amanah tanpa tawar-menawar.

Leluhur mewariskan Caci agar generasi penerus dapat melestarikan tradisi, menjaga nilai-nilainya, menghindari kekerasan, serta menjadi teladan dalam ketertiban.

Namun berbagai pemicu kekacauan masih sering muncul: konsumsi alkohol berlebihan, provokasi dari pemain maupun penonton, ego yang tak terkendali, hingga pengawasan panitia yang kurang ketat.

Beberapa pemain bahkan mempertontonkan aksi berbahaya seperti paki dobel, yang jelas di luar aturan.

Akibatnya? Tradisi tercoreng, korban berjatuhan, hubungan sosial retak, dan trauma menjalar sampai ke generasi penerus.

Hal ini bukan hanya merugikan pelaku budaya, tetapi juga merusak harapan masyarakat terhadap Caci.

Untuk menciptakan pergelaran yang lebih aman, beberapa langkah penting perlu diwujudkan: memperketat pengawasan, melarang alkohol berlebihan di area Caci, menyosialisasikan nilai-nilai luhur, meningkatkan kesadaran seluruh pihak, serta menguatkan peran tokoh adat dalam membina generasi muda.

Caci bukan sekadar tontonan—ia adalah tuntunan.

Di tengah perubahan zaman, tradisi ini mengajak kita merenung: bagaimana melestarikan budaya tanpa mengorbankan harmoni sosial?

Ruang dialog antara tokoh adat, pemerintah, dan masyarakat mesti dibuka agar solusi yang adil dan berkelanjutan dapat ditemukan.

Meskipun konflik kerap terjadi, semangat rekonsiliasi dan persaudaraan harus tetap mengalir dalam diri masyarakat Manggarai.

Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai luhur budaya, Caci dapat benar-benar menjadi warisan yang membanggakan, bukan sumber perpecahan.

Jerry Tou

Pegiat Caci dan Media Sosial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.