PMKRI Desak Investigasi PT TPL atas Kriminalisasi Adat, HAM, dan Ekologi di Tanah Batak

by -1789 Views
Roymundus Tolok (PGK PP PMKRI), Parlin Tua Sihaloho, Kristina Elia Purba, Joel Mahendra Tampubolon (PP PMKRI, Putra/Putri Batak)

Jakarta, TERBITINDO.COM  – Konflik antara masyarakat adat di kawasan Danau Toba dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali mencuat ke permukaan.

Kali ini, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) mengambil langkah tegas dengan menyurati Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman Republik Indonesia.

Mereka menuntut investigasi independen terkait dugaan kriminalisasi masyarakat adat, perampasan tanah ulayat, hingga kerusakan lingkungan yang semakin meluas akibat aktivitas perusahaan industri pulp tersebut.

Menurut catatan PMKRI, eskalasi konflik antara TPL dan komunitas adat terus memburuk. Kasus kriminalisasi tokoh adat, seperti yang menimpa Sorbatua Siallagan, menjadi bukti bagaimana hukum kerap digunakan untuk membungkam perlawanan masyarakat.

Selain itu, pembabatan hutan warisan leluhur dianggap memperparah kerusakan ekosistem Danau Toba yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat Batak.

PT TPL sendiri merupakan perusahaan pengelola Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas lebih dari 167 ribu hektare di Tapanuli. Perusahaan ini merupakan bagian dari konglomerasi Royal Golden Eagle (RGE) milik taipan Sukanto Tanoto, yang sejak masa Orde Baru telah lama dituding sebagai penyebab deforestasi besar-besaran di Sumatera Utara.

Sejak hutan adat dialihfungsikan menjadi kebun eukaliptus sebagai bahan baku industri pulp, akses masyarakat terhadap tanah dan sumber pangan kian terhambat.

Mereka yang mempertahankan wilayah adat justru sering diperlakukan sebagai pengganggu atau pelanggar hukum.

PMKRI menilai, praktik semacam ini jelas melanggar sejumlah aturan konstitusi dan undang-undang.

Di antaranya UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, hingga UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup.

Bahkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan pengelolaan hutan harus memberi manfaat optimal bagi masyarakat, bukan merampas ruang hidup mereka.

Desakan Investigasi

Ketua Lembaga ESDM PP PMKRI, Parlin Tua Sihaloho, menegaskan bahwa langkah menyurati Komnas HAM dan Ombudsman bukanlah upaya mencari sensasi, melainkan dorongan nurani.
“Negara tidak bisa terus-menerus berpihak pada korporasi. Jika investigasi menyeluruh tidak segera dilakukan, maka hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, sementara perusahaan besar bebas dari jerat hukum,” tegas Parlin.

PMKRI mendesak Komnas HAM membentuk Tim Investigasi Ad Hoc yang turun langsung ke lapangan untuk mendengar suara korban kriminalisasi.

Sementara kepada Ombudsman, mereka menuntut pemeriksaan menyeluruh terhadap dugaan kelalaian KLHK, Pemprov Sumut, dan aparat penegak hukum yang dianggap melakukan pembiaran.

Surat resmi PMKRI ini juga menjadi bagian dari gerakan nasional yang mereka sebut sebagai upaya menegakkan keadilan ekologis sekaligus melindungi masyarakat adat.

Dalam seruannya, PMKRI mengajak mahasiswa lintas organisasi, lintas agama, dan lintas daerah untuk bergabung dalam perjuangan bersama dengan slogan: “Tutup TPL, Pulihkan Hutan, Bebaskan Masyarakat Adat.”

Joel Mahendra Tampubolon, salah satu pengurus pusat PMKRI, mengingatkan bahwa jika pemerintah pusat terus mengabaikan persoalan ini, konflik horizontal akan semakin sulit dihindari.

“Jangan biarkan masyarakat hidup tidak tenang di atas tanahnya sendiri. Pemerintah tidak boleh abai, apalagi ikut memelihara konflik di Tanah Batak,” ujarnya.

Kristina Elia Purba, aktivis perempuan PMKRI yang berasal dari Toba, ikut menyuarakan penolakan keras terhadap operasi TPL.

Ia menegaskan bahwa Danau Toba bukan sekadar objek wisata, melainkan warisan leluhur, sumber penghidupan, serta ruang spiritual masyarakat Batak.

“Ketika hutan gundul, sungai tercemar, dan tanah adat dirampas, yang terluka bukan hanya bumi, tetapi martabat kami sebagai orang Batak. Jika negara ingin menjadikan Danau Toba destinasi internasional, maka bebaskanlah Tanah Toba dari perusahaan perusak lingkungan,” seru Kristina.

Lebih jauh, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI, Raymundus Yoseph Megu, mengungkap bahwa sekitar 28% konsesi TPL atau setara 52.668 hektare berada di luar izin legal, termasuk dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi tetap.

Menurutnya, hal ini merupakan bentuk maladministrasi kehutanan dan manipulasi prosedural.

“Operasi TPL bukan hanya praktik bisnis, melainkan kolonialisme agraria yang difasilitasi negara. Aparat hukum berpihak pada modal, bukan pada rakyat,” tegas Raymundus.

Komitmen Perjuangan

Di penghujung pernyataan, PMKRI menegaskan komitmen mereka untuk terus mengawal kasus ini. Mereka menyatakan siap berdiri bersama masyarakat adat Batak yang selama puluhan tahun menanggung beban akibat operasi industri skala besar tersebut.

“Dengan tegas kami sampaikan, PP PMKRI siap berkomitmen mengawal persoalan ini. Kami siap berjuang dan membersamai orang tua dan saudara kami di Tanah Batak, Sumatera Utara,” pungkas Raymundus.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.