Kwik Kian Gie: Nasionalis Gigih yang Menolak Lupa dan Melawan Arus

by -730 Views

Jakarta, TERBITINDO.COM – Kepergian Kwik Kian Gie di usia 90 tahun bukan hanya meninggalkan duka mendalam bagi dunia ekonomi dan politik Indonesia, tetapi juga menghadirkan kembali kisah seorang negarawan yang teguh berdiri melawan praktik kebijakan yang menurutnya mencederai keadilan publik.

Di tengah maraknya intoleransi dan lemahnya sikap pemerintah, warisan moral Kwik menjadi pengingat penting bahwa suara kebenaran sering lahir di ruang sunyi perlawanan.

Diketahui, mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Kwik Kian Gie, berpulang pada usia 90 tahun. Ia meninggalkan jejak panjang sebagai ekonom, pendidik, sekaligus penjaga nurani bangsa.

Kabar kepergiannya tersiar lewat unggahan mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, pada Senin, 29 Juli.

“Selamat jalan, Pak Kwik Kian Gie. Ekonom, pendidik, nasionalis sejati. Mentor yang tak pernah lelah memperjuangkan kebenaran,” tulis Sandiaga di akun @sandiuno.

Sandiaga menggambarkan betapa sosok Kwik tak sekadar birokrat, tetapi teladan moral di tengah iklim politik yang kian memprihatinkan.

Jejak Sang Ekonom Nasionalis

Lahir di Juwana, Pati, Jawa Tengah pada 1935, Kwik Kian Gie meniti jalan panjang untuk mewujudkan gagasannya tentang Indonesia yang adil dan berdaulat.

Setelah menimba ilmu di Fakultas Ekonomi UI, ia melanjutkan studi ke Nederlandsche Economiche Hogeschool Rotterdam, yang kini dikenal sebagai Erasmus Universiteit Rotterdam.

Sekembalinya ke Tanah Air, Kwik tak hanya berkutat di ranah bisnis, tetapi juga menapaki panggung politik, jalur yang kelak menjadikannya suara kritis di tengah kebijakan yang kerap mengorbankan kepentingan publik.

Pada 1987, ia resmi bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan membangun relasi erat dengan Megawati Soekarnoputri.

Kedekatan ini justru menguji prinsipnya di hadapan kepentingan politik, integritasnya tak goyah.

Nama Kwik kian dikenal luas saat menduduki kursi penting di pemerintahan. Ia pernah menjabat Wakil Ketua MPR, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, hingga Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.

Ia juga duduk di Komisi XI DPR RI. Di semua posisi strategis ini, Kwik konsisten menggunakan otoritasnya untuk memastikan kebijakan tak hanya menguntungkan segelintir elite.

Salah satu bukti nyatanya adalah sikap tegasnya dalam menolak penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)—kebijakan kontroversial yang membuka celah korupsi raksasa di sektor keuangan negara.

Di tahun 2002, di tengah tekanan krisis dan dorongan kuat dari lingkaran kekuasaan, Kwik berdiri seorang diri melawan rencana penerbitan SKL BLBI.

Dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Juli 2018, Kwik secara gamblang menceritakan bagaimana ia menghadapi ‘total football’ para menteri di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Ia berulang kali menolak rencana itu, baik di rapat di rumah Teuku Umar maupun di Istana Negara.

“Saya berhasil menggagalkan dua kali. Tapi di sidang kabinet terbatas yang ketiga, saya tak kuasa lagi. Semua menteri bertubi-tubi mendesak, saya pun akhirnya terdiam,” kenangnya.

Sumbangsih Besar yang Terlupakan

Di saat banyak politisi memilih diam demi jabatan, Kwik Kian Gie justru mengorbankan popularitasnya demi menjaga uang rakyat.

Data KPK mencatat, skandal BLBI membebani negara hingga ratusan triliun rupiah. Kwik adalah satu-satunya pejabat tingkat tinggi yang berani secara terbuka menentang praktik yang ia nilai menguntungkan konglomerat nakal.

Dalam konteks intoleransi yang kini tumbuh subur di akar rumput—sering kali dibiarkan tanpa sikap tegas negara—keteguhan Kwik jadi napas segar bahwa di republik ini pernah lahir negarawan yang tak mudah tunduk pada tekanan politik dan kepentingan elite.

Kwik Kian Gie telah pergi, namun warisan moralnya tetap hidup: kesetiaan pada kebenaran, ketegasan menolak kompromi kebijakan yang merugikan rakyat, dan keberanian bersuara di ruang sunyi.

Di era di mana intoleransi merangsek ke ruang publik dan negara terlihat membiarkan retaknya kebinekaan, publik perlu kembali menengok sosok-sosok seperti Kwik.

Indonesia butuh lebih banyak negarawan yang berani ‘melawan arus’, agar cita-cita keadilan sosial tak sekadar slogan di dinding birokrasi.

Hari ini, di tengah duka kepergian Kwik Kian Gie, Indonesia sesungguhnya sedang diingatkan: kejujuran dan keberanian bersuara adalah pilar terkuat menjaga republik ini tetap waras.

Semoga kisahnya tak sekadar jadi lembar sejarah, tetapi bahan bakar bagi generasi baru yang berani membela kepentingan rakyat di atas segalanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.