Jakarta, TERBITINDO.COM – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, mengusulkan agar tindak pidana korupsi dimasukkan sebagai pelanggaran HAM dalam revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Langkah ini dinilai penting untuk memperkuat payung hukum dalam memberantas kejahatan korupsi yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat.
“Melalui revisi ini, saya ingin menempatkan korupsi dalam konteks hak asasi manusia. Jadi, korupsi tak lagi sekadar kejahatan biasa, melainkan juga pelanggaran HAM,” ujar Pigai saat konferensi pers di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Menurutnya, korupsi merupakan kejahatan yang masif, terencana, dan sistematis. Ia menekankan bahwa tindak korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga bisa mengakibatkan hilangnya nyawa.
“Coba kita pikirkan. Membunuh orang jelas pidana, mencuri yang merampas hak sosial dan ekonomi juga pidana. Lalu, bagaimana dengan korupsi yang dilakukan secara masif dan sistematis ketika negara sangat membutuhkan dana untuk menyelamatkan nyawa? Ini juga bentuk kejahatan berat,” tegasnya.
Pigai mencontohkan korupsi anggaran saat pandemi Covid-19, di mana dana yang seharusnya digunakan untuk penanganan pasien malah dikorupsi.
Ia menilai praktik semacam ini secara langsung menghilangkan hak hidup masyarakat.
“Ketika dana penanggulangan wabah dikorupsi, itu bukan hanya merampas hak rakyat, tapi juga berpotensi menimbulkan kematian. Ini bukan hal sepele, dan harus dianggap sebagai pelanggaran HAM berat,” katanya.
Dalam revisi UU HAM ini, Pigai menyebutkan bahwa penguatan relasi antara HAM dan korupsi akan dituangkan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).
Meski begitu, ia menilai cukup bila dalam UU tersebut ditegaskan bahwa korupsi adalah bagian dari pelanggaran hak asasi manusia.
Namun demikian, Pigai mengakui bahwa kajian ilmiah tentang keterkaitan korupsi dan HAM di Indonesia masih minim.
Sejauh ini, satu-satunya akademisi yang mendalaminya adalah Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita.
“Kementerian HAM terbuka bekerja sama dengan siapa pun yang ingin menulis atau meneliti keterkaitan HAM dan korupsi. Kami kekurangan referensi, baik di dalam negeri maupun di tingkat global,” tutup Pigai. (ns)





