Jakarta, TERBITINDO.COM – Perwakilan IDI, Dicky Yulius Pangkey, menyoroti kebiasaan masyarakat yang terlalu cepat mempublikasikan dugaan malapraktik dokter ke media sosial tanpa menempuh jalur etik dan disiplin profesi.
Hal ini ia sampaikan dalam rapat bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk “viralismenya publik” yang justru menciptakan kerugian besar bagi para tenaga medis.
Menurut Dicky, masyarakat seringkali langsung menyimpulkan adanya malapraktik hanya karena hasil medis tidak sesuai harapan.
Padahal, tak semua ketidaksesuaian hasil merupakan pelanggaran etik atau hukum. Tindakan medis, tegasnya, harus dinilai berdasarkan proses dan niat profesional, bukan dari hasil akhir semata.
Lebih lanjut, Dicky menjelaskan bahwa tindakan medis yang dilakukan sesuai prosedur, atas persetujuan pasien, serta tanpa adanya niat jahat, tidak bisa dikategorikan sebagai malapraktik.
Ia menekankan bahwa profesi kedokteran berlandaskan pada ikhtiar maksimal yang dilakukan oleh dokter, bukan pada hasil mutlak berupa kesembuhan pasien.
“Tidak semua kegagalan dapat dianggap pelanggaran,” tegasnya.
Ia merinci berbagai hal yang harus dibedakan dengan malapraktik, seperti risiko medis yang sudah dijelaskan kepada pasien, komplikasi, kejadian tak terduga, kecelakaan medis, hingga kelalaian yang benar-benar terbukti melanggar standar praktik.
IDI juga mengkritisi ketidakjelasan koordinasi dalam implementasi Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.
Menurut Dicky, meski seorang dokter telah melewati proses etik atau disiplin profesi, tak jarang mereka kembali harus menghadapi proses hukum pidana atau perdata.
Hal ini menurutnya menciptakan tekanan ganda terhadap dokter dan menimbulkan rasa ketidakadilan.
Tak hanya itu, ia juga menyayangkan praktik sidang Majelis Disiplin Profesi (MDP) yang kerap dilakukan tanpa pelibatan IDI.
Banyak dokter, ujarnya, diproses secara disipliner tanpa adanya pendampingan hukum dari organisasi profesi, sehingga kehilangan hak mereka atas pembelaan dan advokasi.
Usulan IDI
Sebagai solusi, Dicky mengusulkan agar MDP wajib memberikan salinan pemberitahuan kepada IDI sebelum melakukan proses penyidikan terhadap seorang dokter.
Hasil sidang juga, menurutnya, harus disampaikan ke organisasi profesi agar ada keterlibatan dan pendampingan maksimal.
“Koordinasi yang kami harapkan sangat penting, untuk memastikan bahwa setiap dokter mendapatkan akses terhadap bantuan hukum yang layak,” ujar Dicky.
Ia menegaskan pentingnya peran organisasi profesi dalam mengawal proses hukum agar tidak ada pihak medis yang terdzalimi.
Terakhir, IDI menekankan perlunya edukasi menyeluruh kepada masyarakat mengenai hukum medis dan batasan profesi kedokteran.
Menurut Dicky, tindakan medis bukanlah layanan dengan jaminan hasil, melainkan upaya terbaik berdasarkan ilmu pengetahuan dan etika profesional.
“Publik harus paham, keadilan dalam dunia medis tak hanya melindungi pasien, tetapi juga tenaga medis yang bekerja secara etis,” tandasnya. (Abet)





