Jakarta, TERBITINDO.COM – Pembubaran Jemaah Islamiyah (JI) menjadi babak baru yang menandai perubahan besar dalam lanskap kontra-radikalisme Indonesia.
Dalam upaya memperkuat dialog dan semangat moderasi, Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri bekerja sama dengan UIN Salatiga menggelar sebuah forum intelektual: Bedah Buku dan Kelas Kontranarasi, yang menyelami sisi terdalam kisah yang jarang diungkap—suara dari dalam.
Acara ini digelar di kampus UIN Salatiga pada Rabu (25/6/2025), dihadiri ratusan peserta dari kalangan akademisi dan mahasiswa.
Forum ini mempertemukan beragam pihak—ilmuwan, aparat keamanan, mantan pelaku radikal, hingga peneliti—untuk membedah buku “JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah” (Gramedia, 2024) karya Irjen Pol. Sentot Prasetyo, Kepala Densus 88.
Buku ini menjadi titik tolak refleksi atas metamorfosis JI, yang pernah menjadi kelompok radikal paling berpengaruh di Asia Tenggara, dan kini menyatakan bubar.
Diskusi berjalan intens dan terbuka, di ruang akademik yang kritis sekaligus inklusif.
Dalam sambutannya, Prof. Dr. Ilyya Muhsin, M.Si., Dekan Fakultas Syariah UIN Salatiga, menegaskan bahwa kampus adalah tempat yang ideal untuk membuka ruang dialog lintas perspektif. Ia menilai forum ini sejalan dengan misi UIN sebagai pusat studi moderasi beragama.
“Kami bangga karena tema diskusi ini searah dengan agenda akademik kami. Ini akan memperkuat posisi UIN sebagai pelopor gerakan moderasi beragama di tingkat nasional,” ujarnya.
Sementara itu, Kombespol Moh. Dofir, S.Ag., M.H., Kasubdit Kontra Ideologi Densus 88, menilai keputusan JI untuk bubar bukan hanya kabar baik dari segi keamanan, tapi juga momen historis yang layak dikaji secara akademik.
“JI adalah simbol terorisme besar di Asia Tenggara. Keputusan mereka untuk meninggalkan kekerasan adalah langkah monumental yang perlu dicermati secara serius,” ungkapnya.
Ia mendorong kampus menjadi episentrum riset jangka panjang dalam strategi kontra-radikalisme.
Sosiolog dan peneliti radikalisme, Syukron Ma’mun, Ph.D., menambahkan bahwa meskipun inisiatif pembubaran JI dari dalam patut diapresiasi, masih dibutuhkan kehati-hatian.
“Sering kali, kelompok radikal hanya mengganti kulit. Tapi saya berharap JI benar-benar menjadi pengecualian yang langka,” jelasnya. Ia menekankan pentingnya penelitian lanjutan untuk memastikan perubahan ini berkelanjutan dan otentik.
Pendekatan Kemanusiaan
Kompol Agus Isnaini, M.Si., dari Direktorat Pencegahan Densus 88, menjelaskan bahwa pendekatan pasca-pembubaran kini tak lagi hanya soal hukum, melainkan juga pendampingan dengan pendekatan humanis.
“Komitmen tidak cukup dibacakan—harus dijalani. Pendekatan kami kini bersifat restoratif dan berkelanjutan,” ujarnya.
Khoirul Anam, Staf Khusus Kepala Densus 88, menambahkan bahwa buku “JI The Untold Story” dirancang bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami. Buku ini menjadi jendela penting yang memperlihatkan sisi kemanusiaan dari para eks anggota JI yang jarang terangkat ke publik.
“Kami ingin masyarakat memahami narasi dari dalam—dari mereka yang pernah ada di sana. Buku ini menjadi referensi penting untuk memahami dinamika pertobatan mereka,” katanya.
Pada sesi selanjutnya, Kelas Kontranarasi digelar secara khusus untuk dosen dan mahasiswa terpilih. Dipandu oleh Khoirul Anam, kelas ini membedah secara mendalam bagaimana narasi intoleran, radikal, ekstremis, dan teroris (IRET) menyusup lewat konten digital.
Ia mengingatkan bahwa ekstremisme tak selalu tampil dalam bentuk kekerasan terang-terangan—kadang ia menyaru dalam konten keagamaan atau identitas yang halus tapi memecah.
Para peserta tak hanya diajak mengenali konten negatif, tapi juga belajar merancang kontranarasi—narasi tandingan yang mengedepankan nilai kemanusiaan dan toleransi.
Mereka berdiskusi, merancang konten, dan mengeksplorasi cara memanfaatkan algoritma media sosial untuk menyebarkan pesan damai.
Antusiasme peserta mencerminkan kesiapan generasi muda untuk terlibat aktif dalam perang narasi digital—sebuah arena baru dalam melawan radikalisme.
Secara keseluruhan, forum ini mencerminkan model kolaborasi ideal antara akademisi, aparat keamanan, dan masyarakat sipil.
Di tengah era digital yang semakin kompleks, pendekatan berbasis data, dialog, dan narasi menjadi pondasi utama dalam membangun Indonesia yang inklusif dan tahan terhadap ekstremisme. ***





