Jakarta, TERBITINDO.COM – Sebuah pendakian yang semula penuh semangat dan harapan berubah menjadi kisah duka mendalam ketika Juliana De Souza Pereira Marins, wisatawan asal Brasil, ditemukan tak bernyawa di jurang curam Gunung Rinjani.
Di balik keindahan lanskap Indonesia yang mendunia, tersimpan bahaya sunyi yang bisa merenggut nyawa dalam sekejap.
Tragedi ini membuka mata dunia akan tantangan sesungguhnya dalam wisata alam ekstrem—antara harapan akan keselamatan dan kenyataan pahit di lapangan.
Petualangan yang diimpikan banyak orang berubah menjadi tragedi memilukan bagi Juliana De Souza Pereira Marins.
Perempuan asal Brasil berusia 27 tahun ini berangkat mendaki Gunung Rinjani dengan antusiasme yang membara, tak pernah menyangka bahwa perjalanannya akan berakhir dalam duka mendalam.
Pada Sabtu pagi, 21 Juni 2025, tepat pukul 08.30 WITA, Basarnas menerima laporan mengejutkan: seorang pendaki asing dikabarkan terjatuh dari tebing Cemara Nunggal, sebuah titik yang terkenal berbahaya di jalur pendakian menuju puncak.
Juliana, yang saat itu tergabung dalam rombongan via jalur Sembalun, dikabarkan terpisah dari kelompoknya dan akhirnya terperosok ke dalam jurang dengan kedalaman mengerikan, mencapai ratusan meter.
Tanggap darurat segera dilakukan. Pukul 10.21 WITA, tim SAR pertama yang terdiri dari lima personel dikerahkan menuju Last Known Position (LKP) korban.
Penyusulan tim-tim tambahan dilakukan hingga malam menjelang. Di bawah langit gelap dan cuaca yang tak bersahabat, dua tim SAR tiba di LKP pada pukul 19.50 WITA dan mulai menyisir kawasan dengan bantuan drone thermal.
Sayangnya, visibilitas rendah dan kegelapan malam membuat pencarian tanpa hasil. Harapan untuk menemukan korban hidup perlahan memudar, namun semangat tim penyelamat tak padam.
Pencarian kembali dilakukan pada Minggu, 22 Juni 2025, dengan strategi yang lebih matang. Pada pukul 06.00 WITA, seluruh personel SAR menggelar briefing untuk menyusun rencana pencarian lanjutan.
Tim SAR keempat berhasil mencapai Pelawangan Sembalun pada pukul 08.00 WITA, namun cuaca kembali menjadi musuh utama. Kabut tebal yang menggulung kawasan pegunungan membuat pengoperasian drone terganggu, menambah kerumitan dalam misi yang sudah begitu berisiko.
Dalam konferensi pers, Kepala Basarnas Marsekal Muda TNI Mohammad Syafii menyatakan bahwa misi pencarian menghadapi tantangan luar biasa, terutama karena minimnya sinyal visual dan kondisi geografis yang ekstrem. Ia menggambarkan proses tersebut seperti “mencari jarum di tumpukan kabut”.
Terobosan besar terjadi pada Senin pagi, 23 Juni 2025. Pukul 07.59 WITA, drone thermal yang diterbangkan dari LKP akhirnya menangkap citra tubuh Juliana.
Ia ditemukan dalam posisi tak bergerak, tersangkut di sela bebatuan terjal dengan kedalaman lebih dari 400 meter dari titik jatuh awal.
Penemuan ini memicu persiapan evakuasi yang sangat teknis dan penuh risiko. Tim SAR, yang terdiri dari gabungan personel Basarnas, SAR Lombok Timur, dan Brimob, mulai menurunkan tali dan tandu dengan sistem bergilir.
Proses penurunan logistik dilakukan secara bertahap karena akses ke lokasi sangat terbatas dan medan begitu curam.
Setiap langkah dalam evakuasi harus diambil dengan ketelitian tinggi karena kesalahan kecil bisa berakibat fatal.
Pada hari keempat operasi, Selasa, 24 Juni 2025, tekanan publik kian meningkat. Helikopter HR 3606 milik Basarnas lepas landas dari Lanud ATS pukul 07.00 WIB, membawa personel elite dari Basarnas Special Group menuju Lombok.
Di Posko Sembalun, suasana makin tegang dengan kedatangan perwakilan Kedutaan Besar Brasil pukul 12.10 WITA yang menuntut kejelasan dan percepatan evakuasi.
Upaya melibatkan helikopter tambahan dari PT Amman kandas akibat kabut tebal yang menutupi LKP.
Direktur Operasi Basarnas turut hadir di lapangan dan langsung mengoordinasikan jalannya misi. Namun, cuaca tetap menjadi penghalang utama. Helikopter harus kembali ke Sumbawa tanpa hasil, karena jalur udara tertutup oleh badai dan kabut ekstrem.
Di balik proses penyelamatan yang kompleks, muncul fakta-fakta yang memperkeruh suasana. Juliana ternyata tidak memiliki pengalaman mendaki gunung.
Ia mengikuti tur wisata pendakian melalui jasa pemandu lokal, yang diduga tak melakukan pengawasan ketat terhadap rombongan.
Saksi mata menyebutkan bahwa Juliana sempat tertinggal sendirian di jalur yang menurun tajam, dalam kondisi kelelahan dan tanpa pendamping. Diduga kuat, dalam situasi tersebut, ia terpeleset dan terjatuh ke jurang. Tragedi ini menyentak publik, menunjukkan celah besar dalam pengawasan dan prosedur keselamatan wisata ekstrem.
Keluarga Juliana, terutama sang adik, tak tinggal diam. Melalui media sosial, mereka menyuarakan kekecewaan terhadap lambannya proses evakuasi.
Dalam unggahan viral, sang adik menulis, “Tiga hari telah berlalu dan tubuh kakakku masih di jurang.
Tidak ada tindakan nyata. Kami mohon bantuan pemerintah Indonesia.” Ungkapan emosional ini menyulut kemarahan publik Brasil.
Ribuan komentar membanjiri akun Instagram Presiden Prabowo Subianto. Warga Brasil menuntut kejelasan dan kecepatan, bahkan menuduh pemerintah Indonesia menyembunyikan informasi penting dari keluarga korban. Tensi diplomatik mulai terasa di ruang publik maya.
Menanggapi sorotan yang kian memanas, Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardiantoro, menyampaikan bahwa Presiden Prabowo telah memantau langsung perkembangan kasus ini.
Ia menegaskan bahwa laporan-laporan kemanusiaan yang masuk, terutama melalui media sosial, ditindaklanjuti secara serius dan diverifikasi oleh tim Istana.
“Presiden tidak hanya fokus pada hal-hal makro, tetapi juga perhatian pada kasus individual yang menyentuh sisi kemanusiaan,” ujar Juri.
Ia mengungkapkan bahwa bantuan teknis dari tim Istana telah disiapkan untuk mempercepat proses evakuasi.
Namun, respons dari warganet Indonesia terhadap banjir komentar dari netizen Brasil tak kalah sengit.
Kolom komentar @prabowo berubah menjadi arena adu argumen antar dua bangsa. Banyak netizen Indonesia membela kondisi geografis dan kesulitan teknis yang dihadapi tim SAR di lapangan.
Perdebatan ini menjadi trending topic, menyoroti perbedaan ekspektasi antara publik internasional dan realitas lapangan di kawasan pegunungan ekstrem seperti Rinjani.
Tragedi yang menimpa Juliana Marins adalah cermin pahit dari risiko yang tersembunyi dalam wisata alam ekstrem.
Keindahan Gunung Rinjani yang menjadi daya tarik dunia ternyata menyimpan potensi bahaya yang mematikan, apalagi jika tidak disertai kesiapan fisik, pengalaman mendaki, serta pengawasan profesional yang ketat.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa keselamatan harus menjadi prioritas utama dalam setiap perjalanan, betapapun indah tujuan yang ingin dicapai. (Ns)





