Jakarta, TERBITINDO.COM – Ketua Lembaga Kajian Strategis PMKRI Jakarta Pusat, Andri Tani, secara tegas menyatakan bahwa aktivitas penambangan nikel di kawasan Laut Raja Ampat adalah keputusan yang merugikan, baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Andri Tani menyoroti inkonsistensi pemerintah yang kerap menjadikan alasan ekonomi dan industri sebagai pembenaran untuk operasi penambangan nikel, sementara fakta di lapangan menunjukkan kerugian yang jauh lebih besar.
Dalam pemaparannya, Andri Tani mengkritisi klaim-klaim pemerintah terkait keuntungan ekonomi dari penambangan, menegaskan bahwa angka-angka tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan dan dibuktikan kebenarannya.
“Pemerintah seakan lupa bahwa banyak masyarakat kita yang terdidik, bahkan dibiayai negara, sehingga klaim-klaim seperti ini sangat bisa dihitung dan dibuktikan,” ujarnya.
PAD Raja Ampat: Antara Hiperbola dan Realitas
Andri Tani menyoroti perdebatan mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD) Raja Ampat. Ia mengungkapkan bahwa meskipun beberapa media dan anggota dewan mengemukakan angka fantastis Rp150 miliar per tahun, hasil verifikasi datanya menunjukkan angka yang jauh lebih moderat.
“Setelah saya cross check ulang data dari BPS atau Raja Ampat, ternyata PAD tahun 2024 adalah Rp31 miliar per tahun. Angka Rp150 miliar itu hiperbolik,” jelasnya.
Meski demikian, Andri Tani menekankan bahwa Rp31 miliar bukanlah angka yang kecil untuk sebuah PAD.
Ia juga menjelaskan konsep capture rate untuk mengukur perputaran uang di Raja Ampat. Dengan asumsi PAD Rp150 miliar, perputaran uang di Raja Ampat bisa mencapai Rp15 triliun.
Jika menggunakan angka PAD yang lebih realistis, Rp31 miliar, perputaran uang yang beredar masih sangat besar, yaitu antara Rp1 triliun hingga Rp3 triliun per tahun.
Potensi Ekonomi Konservasi: Rp446 Triliun dalam 50 Tahun
Andri Tani memaparkan model perhitungan ekonomi konservasi Raja Ampat yang diyakininya lebih menguntungkan dan berkelanjutan.
Ia memperkirakan bahwa dalam 50 tahun (dari 2025 hingga 2074), nilai total ekonomi dari konservasi Raja Ampat dapat mencapai *Rp446 triliun*.
Angka ini didapat dari pendekatan matematis dan ekonomi yang moderat, bukan optimis.
“Angka Rp446 triliun ini tidak datang dari langit. Ini berdasarkan model matematika dan ekonomi yang realistis,” tegas Andri Tani.
Model ini mempertimbangkan beberapa sektor, antara lain:
* Pariwisata Premium: Raja Ampat adalah destinasi wisata premium dengan rata-rata pengeluaran wisatawan Rp5 juta hingga Rp15 juta per hari dan durasi menginap hingga 2-3 minggu.
* Blue Carbon: Keberadaan 27.800 hektar hutan mangrove di Raja Ampat memiliki potensi cadangan karbon yang bernilai hingga Rp4,9 triliun.
* Ekonomi Lokal, Perlindungan Terumbu Karang, dan Perikanan: Sektor-sektor ini turut berkontribusi pada putaran ekonomi.
Dengan asumsi pertumbuhan tahunan konservasi sebesar 4,5% dan sektor yang berkelanjutan, Andri Tani menjelaskan bahwa potensi nilai kumulatif dalam 50 tahun bisa mencapai Rp446 triliun.
Ia bahkan menyebutkan bahwa angka ini bisa dimaksimalkan hingga Rp800 triliun sampai Rp1.000 triliun jika dikelola dengan benar, tanpa merusak lingkungan.
“Uang ini sebagian besar akan beredar di masyarakat dan tentunya menjadi pendapatan bagi Kabupaten Raja Ampat dan Papua secara keseluruhan,” tambahnya.
Skenario Tambang Nikel: Kerugian Jangka Panjang
Berbanding terbalik dengan potensi konservasi, Andri Tani memaparkan skenario penambangan nikel yang justru akan membawa kerugian besar.
Ia mengambil contoh PT GAG Indonesia, yang meski izinnya sempat menjadi sorotan, namun izin operasinya masih berlaku.
Dengan potensi produksi awal 3 juta ton per tahun dan total bijih nikel yang bisa ditambang sekitar 59 juta ton di Pulau Gag, Andri Tani memperkirakan durasi penambangan bisa mencapai 15 hingga 50 tahun.
Berdasarkan perhitungannya, total nilai ekonomi dari penambangan nikel, dengan mempertimbangkan berbagai faktor, hanya sekitar Rp246,9 triliun.
Angka ini didapat tanpa adanya efek pengganda (multiplier effect) yang signifikan, dan sebagian besar uang justru beredar di Jakarta, di perusahaan, atau di tingkat pusat, bukan di masyarakat Raja Ampat.
Bahkan dengan pendekatan paling optimis pun, dengan kenaikan harga nikel didorong hingga 3% per tahun, total pendapatan kotor hanya mencapai Rp347,5 triliun.
“Angka ini tetap lebih kecil daripada membiarkan Raja Ampat steril dari pertambangan dan mengoptimalkan konservasi,” kata Andri Tani.
Ia juga mengingatkan bahwa angka tersebut belum dipotong biaya operasional, dividen BUMN, dan setoran lainnya, yang berarti multiplier effect-nya mendekati nol.
Lebih lanjut, Andri Tani menyoroti dampak jangka panjang. Ia memperkirakan operasi penambangan wajar berlangsung 15-20 tahun, namun sisa 30 tahun berikutnya justru akan menjadi beban biaya restorasi dan pemulihan lingkungan yang sangat besar.
Mustahilnya Koeksistensi Konservasi dan Pertambangan
Andri Tani menolak gagasan bahwa konservasi dan penambangan dapat berjalan beriringan.
“Mempertahankan pertambangan dan konservasi itu mustahil. Ini berlaku kausalitas, sebab dan akibat,” tegasnya.
Ia membantah klaim Menteri Bahlil yang menyebut jarak 30-40 km antara lokasi tambang dan wisata adalah aman.
“Itu bukan jarak yang aman, apalagi ini pertambangan open pit di laut. Anak kecil pun mengerti, jika oli dituang sedikit demi sedikit setiap hari, kolam renang pasti akan keruh,” ilustrasinya.
Fakta mengejutkan lainnya adalah jarak dari Pulau Gag ke batas terluar Taman Laut Raja Ampat hanya 5 km.
“Artinya, kerusakan itu mustahil dihindari dan akan semakin meluas seiring bertambahnya tahun,” kata Andri Tani.
Raja Ampat: Laboratorium Laut Terlengkap Dunia
Andri Tani menekankan bahwa Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata, melainkan “laboratorium laut paling mutakhir, paling lengkap, paling baik di seluruh dunia.” Raja Ampat memiliki:
* Lebih dari 1.500 jenis ikan karang
* 75% jenis terumbu karang dunia
* 25 lebih jenis mamalia laut
* 17 lebih jenis ikan hiu
* Dugong
Ia juga menceritakan sejarah pemulihan Raja Ampat. Dari kondisi rusak parah akibat penangkapan ikan ilegal puluhan tahun lalu, masyarakat adat setempat, didukung lembaga swadaya masyarakat global dan pemerintah daerah, berhasil memulihkan ekosistemnya.
“Raja Ampat kembali pulih dengan keadaan yang lebih baik, dengan ragam jenis makhluk hidup yang lebih banyak. Itulah yang membuat Raja Ampat sangat magis,” tuturnya.
Seruan untuk Pembatalan Izin Tambang
Mengakhiri pemaparannya, Andri Tani menyatakan kekecewaan mendalam atas kebijakan pemerintah.
“Masyarakat adat Papua sudah berhasil mengharumkan nama Indonesia, namun air susu dibalas air tuba dengan hadirnya tambang nikel di laut mereka,” sesalnya.
Ia menilai keputusan ini tidak hanya “bejat secara moral, tapi bodoh secara intelektual.” Andri Tani menegaskan bahwa siapa pun yang terlibat dalam pemberian izin penambangan ini, dari masa pemerintahan Suharto hingga saat ini, bertanggung jawab.
Namun, ia secara khusus menyoroti pihak yang memiliki wewenang untuk membatalkan izin namun memilih untuk membiarkan operasi tambang berlanjut.
“Menutup izin usaha PT GAG Nikel Indonesia bukanlah hal yang sulit, karena 100% sahamnya dimiliki oleh negara ini,” pungkas Andri Tani, menyerukan agar pemerintah segera menutup izin tersebut dan fokus pada pengembangan konservasi Raja Ampat.***





