Jakarta, TERBITINDO.COM – Tunjangan Hari Raya (THR) adalah hak mutlak pekerja yang tidak bisa ditawar. Lebih dari sekadar tradisi tahunan, THR merupakan kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh pengusaha atau perusahaan.
Namun, setiap tahun persoalan pembayaran THR selalu muncul ke permukaan. Tahun 2025 pun tidak berbeda, bahkan potensi pelanggaran diprediksi semakin meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat adanya penurunan jumlah pengaduan terkait THR dari tahun 2023 ke 2024. Jika pada 2023 terdapat 2.369 pengaduan, jumlah ini turun menjadi 1.539 pengaduan di 2024.
Sementara itu, jumlah perusahaan yang diadukan pada 2024 mencapai 965, dengan kasus terbanyak berasal dari DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Dari berbagai laporan, jenis pelanggaran yang paling banyak terjadi adalah THR yang tidak dibayarkan (929 kasus). Disusul oleh kasus pembayaran tidak sesuai ketentuan (383 kasus) dan keterlambatan pembayaran (227 kasus).
Tantangan 2025: Krisis Ekonomi dan Gelombang PHK
Tahun ini, ancaman pelanggaran THR semakin nyata. Banyak perusahaan menghadapi tekanan berat akibat melemahnya permintaan dan meningkatnya biaya operasional. Situasi diperparah dengan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus meningkat.
Data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Januari–Februari 2025, setidaknya 49.843 pekerja terkena PHK. Mereka berasal dari sekitar 40 perusahaan di berbagai daerah. Kasus terbesar terjadi di PT Sritex yang mem-PHK 10.665 pekerja akibat pailit, disusul oleh PT Karya Mitra Budi Sentosa dengan 10.000 pekerja yang mengalami nasib serupa.
Kepatuhan THR: Cermin Kondisi Ekonomi
Menurut ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, kepatuhan perusahaan dalam membayar THR sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi. Misalnya, pada Lebaran 2022—saat perekonomian masih lemah—tingkat kepatuhan hanya mencapai 78 persen. Sementara pada 2023, ketika ekonomi membaik pascapandemi, angka kepatuhan melonjak menjadi 92 persen.
Namun, kondisi ekonomi yang memburuk berpotensi menurunkan kepatuhan THR di 2025. Indikasi awal terlihat dari penerimaan pajak penghasilan badan (PPh Badan) yang justru mengalami pertumbuhan negatif sebesar -18,1 persen pada 2024. Tren ini berlanjut di awal 2025, dengan realisasi penerimaan PPh Badan pada Januari–Februari hanya Rp39,8 triliun, jauh lebih rendah dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp49,3 triliun.
“Jika tren ini berlanjut, tingkat kepatuhan THR bisa lebih rendah dari tahun lalu, bahkan mendekati level saat pandemi,” ujar Andri kepada wartawan Tirto, Selasa.
THR Harus Dibayar, Tanpa Toleransi
Meski kondisi ekonomi sulit, itu bukan alasan bagi perusahaan untuk mengabaikan kewajiban membayar THR. Kesejahteraan pekerja adalah faktor kunci dalam menjaga kelangsungan bisnis. Jika pekerja diperlakukan dengan adil, produktivitas meningkat, loyalitas terjaga, dan stabilitas sosial lebih terjamin.
Pemerintah pun harus bersikap tegas. Tidak boleh ada toleransi bagi perusahaan yang melanggar aturan pembayaran THR. Sanksi administratif dan denda harus diterapkan tanpa kompromi. Jika ada perusahaan yang benar-benar mengalami kesulitan, mekanisme bantuan atau keringanan bisa diberikan—tetapi tidak boleh menjadi celah untuk menghindari kewajiban.
Pada akhirnya, THR bukan sekadar angka di laporan keuangan, melainkan hak pekerja yang harus dipenuhi demi keadilan dan kesejahteraan bersama. (Enjo)





