Jakarta, TERBITINDO.COM – Model komunikasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali menuai sorotan publik.
Dalam diskusi publik yang diselenggarakan POLISLAB Institute pada Jumat (12/7/2025), Ferdinandus Jehalut, dosen komunikasi politik di UNDANA Kupang, menilai bahwa pembatasan akses komunikasi langsung kepada Presiden hanya melalui Menteri Koordinator (Menko) berisiko menciptakan disfungsi kebijakan.
Menurut Ferdi, pendekatan ini mencerminkan desain kekuasaan yang cenderung menutup ruang partisipasi serta mengasingkan menteri-menteri teknis dari proses pengambilan keputusan strategis.
“Alih-alih menciptakan efektivitas, model ini justru menegaskan kembalinya logika komando khas militer ke dalam birokrasi sipil,” ujarnya dalam paparan.
Ferdi menyebutkan dua dugaan utama di balik pola komunikasi vertikal ini. Pertama, adanya upaya untuk menjauh dari bayang-bayang kekuasaan Presiden sebelumnya, Joko Widodo.
Banyak tokoh dalam Kabinet Merah Putih disebut masih berasal dari jejaring politik era Jokowi, sehingga Prabowo perlu memfilter loyalitas dengan menyempitkan akses komunikasi langsung.
Kedua, pendekatan ini merepresentasikan pola kepemimpinan komando ala militer, yang menekankan hierarki ketat dan loyalitas struktural dibandingkan dialog antar pemangku kebijakan.
“Menko berfungsi lebih sebagai penyaring ketimbang fasilitator dialog. Ini berisiko mematikan dinamika deliberatif dalam proses pemerintahan,” tambahnya.
Ferdi juga menyoroti besarnya ukuran kabinet saat ini, yang terdiri dari 48 kementerian dan 55 wakil menteri, atau terbesar sejak era reformasi. Namun, struktur ini tidak diimbangi dengan sistem komunikasi yang adaptif dan terbuka.
“Alih-alih koordinatif, kabinet malah mengalami fragmentasi kebijakan akibat miskomunikasi antar kementerian,” katanya.
Ia mengingatkan, komunikasi dalam pemerintahan bukan sekadar pelaporan, melainkan negosiasi makna dan artikulasi kepentingan.
Ketika hanya Menko yang menjadi jalur ke Presiden, maka para menteri teknis kehilangan agensi untuk mengarahkan kebijakan berdasarkan realitas lapangan.
Mengutip teori strukturasi Anthony Giddens, Ferdi menekankan bahwa struktur sosial seharusnya memberi ruang pada tindakan agen (dalam hal ini para menteri teknis).
Namun dengan jalur komunikasi yang disempitkan, struktur tersebut justru menumpulkan agensi para menteri.
Lebih lanjut, ia mengacu pada gagasan Jürgen Habermas soal rasionalitas komunikatif, yakni model komunikasi demokratis yang bebas dominasi, setara, dan terbuka.
Menurutnya, ketika jalur komunikasi bersifat satu arah, maka diskursus digantikan komando. Hasilnya adalah distorsi sistemik dalam kebijakan.
Contohnya tampak pada revisi subsidi pupuk awal 2025 yang diumumkan tanpa koordinasi lintas kementerian. Akibatnya, kebijakan itu ditentang oleh kementerian teknis hingga petani di lapangan.
“Teknologi seperti dasbor geospasial tak akan cukup jika kanal ke pusat kekuasaan masih disaring secara politik,” kritiknya.
Panggung Simbolik, Minim Deliberasi
Ferdi menyimpulkan bahwa tanpa kanal komunikasi horizontal dan vertikal yang terbuka, kabinet saat ini berisiko hanya menjadi panggung simbolik.
Menteri tampil di media tetapi tak punya kekuatan memengaruhi arah kebijakan strategis.
Ia mengingatkan komunikasi politik dalam demokrasi tidak boleh berhenti pada loyalitas struktural. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk membuka ruang dialog sejati.
“Kepemimpinan kuat bukan sekadar memberi komando, tetapi juga keberanian untuk mendengar,” pungkasnya.
Sebagai penutup, Ferdi menegaskan agar Presiden perlu membuka kembali kanal komunikasi langsung yang sehat dengan para menteri teknis, khususnya dalam isu strategis lintas sektor.
Menko harus berfungsi sebagai fasilitator dialog, bukan penyaring informasi. Selain itu, forum lintas kementerian berbasis deliberasi substantif perlu dihidupkan kembali.
“Dalam demokrasi, komunikasi bukan sekadar prosedur, tetapi kebutuhan dasar. Kepemimpinan kuat bukan berarti membungkam, melainkan berani mendengar,” pungkasnya.***
