Jakarta, TERBITINDO.COM – Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) menilai rencana pemerintah untuk menaikkan tarif ojek online (ojol) sebesar 8-15 persen tidak akan membawa dampak positif terhadap pendapatan pengemudi.
Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua SPAI, Lily Pujiati, dalam pernyataan tertulis pada Selasa (1/7/2025).
Lily menegaskan bahwa rencana kenaikan tarif yang digagas Kementerian Perhubungan tak menyentuh akar persoalan utama yang dihadapi pengemudi ojol, yakni potongan besar yang masih diterapkan oleh perusahaan platform.
Menurutnya, selama skema pemotongan tidak diubah, pengemudi tidak akan merasakan manfaat dari tarif baru tersebut.
“Rencana Kemenhub menaikkan tarif ojol tidak akan berdampak positif bagi pengemudi jika potongan dari perusahaan platform masih tetap tinggi,” ujar Lily.
Ia memaparkan bahwa potongan yang saat ini diterapkan oleh platform justru melampaui batas maksimal yang telah ditetapkan pemerintah, yakni 20 persen untuk angkutan penumpang roda dua.
Bahkan untuk layanan pengiriman makanan dan barang, pemotongan dilakukan secara sepihak tanpa batas yang jelas dan transparan.
Di sisi lain, para pengemudi, baik ojol, taksol (taksi online), maupun kurir, tetap harus menanggung sendiri seluruh beban biaya operasional seperti bahan bakar, pulsa, dan perawatan kendaraan. Ketimpangan ini diperparah oleh sistem pemotongan yang sangat besar.
“Kami menemukan pemotongan bisa mencapai 70 persen. Misalnya, untuk pengantaran makanan dengan biaya Rp18.000 yang dibayarkan pelanggan ke platform, pengemudi hanya menerima Rp5.200,” ungkap Lily.
Situasi ini, lanjutnya, menunjukkan ketidakadilan sistemik yang terus menekan kesejahteraan para pekerja transportasi berbasis aplikasi.
Karena itu, SPAI menuntut agar potongan yang diterapkan oleh platform dikurangi secara signifikan menjadi hanya 10 persen, atau bahkan dihapus sepenuhnya.
Lily juga menyuarakan desakan agar pemerintah menerapkan sistem upah yang sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) bagi para pengemudi, guna menjamin kestabilan pendapatan setiap bulan.
“Sudah saatnya ada kepastian pendapatan bagi pengemudi ojol, taksol, dan kurir. Mereka adalah pekerja, bukan mitra lepas yang bisa diperlakukan sewenang-wenang,” tegasnya.
Lebih lanjut, SPAI meminta agar seluruh serikat pekerja dan komunitas pengemudi dilibatkan secara aktif dalam penyusunan maupun pembahasan regulasi yang berkaitan dengan sektor transportasi online.
Hal ini dinilai penting agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan realitas di lapangan.
SPAI juga menolak berbagai skema kerja seperti sistem slot, aceng (argo goceng), skema Hemat, dan prioritas, yang dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap pengemudi.
Skema-skema tersebut dinilai menciptakan ketimpangan akses terhadap pesanan, karena hanya pengemudi tertentu yang mendapat prioritas.
“Kami menilai skema-skema itu hanya menguntungkan pihak tertentu dan membuat sebagian besar pengemudi kesulitan memperoleh orderan,” ujar Lily.
Dalam konteks regulasi nasional, SPAI juga mendorong Kementerian Perhubungan untuk menghapus pasal hubungan kemitraan dalam regulasi transportasi online.
Hal ini merujuk pada keputusan International Labour Conference (ILC) ke-113 di Jenewa pada Juni lalu, di mana negara-negara anggota ILO sepakat menggunakan istilah “pekerja platform” untuk pengemudi dalam sektor ini.
“Sudah waktunya Kementerian Ketenagakerjaan mengadopsi ketentuan internasional tersebut ke dalam regulasi nasional seperti RUU Ketenagakerjaan,” pungkas Lily. (enjo)
