PMKRI Kawal Ketat Jeritan Masyarakat Adat Merauke: “Food Estate” Ancam Tanah Leluhur

by -607 Views

Jakarta, TERBITIDO.COM – Program Food Estate yang digagas sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) kembali menuai polemik.

Kali ini, sorotan datang dari Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) yang menyatakan dukungan penuh terhadap perjuangan Masyarakat Hukum Adat Merauke dalam mempertahankan tanah dan identitas budaya mereka yang terancam oleh proyek tersebut.

Pada Jumat, 27 Juni 2025, Ketua Lembaga Ekologi dan Masyarakat Adat PP PMKRI bersama Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI mengunjungi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang berlokasi di Jl. Tebet, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.

Kunjungan ini bukan sekadar silaturahmi, melainkan bentuk nyata solidaritas terhadap masyarakat adat yang kini berada di bawah tekanan akibat proyek Food Estate di Merauke.

Di lokasi tersebut, mereka disambut langsung oleh Ketua Forum Masyarakat Adat Kondo Digoel, Simon Petrus Balagaize.

Pertemuan ini menjadi momentum penting untuk merajut kolaborasi dan memperkuat perlawanan terhadap proyek yang dinilai sarat masalah dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat adat Papua.

Ketua Lembaga Ekologi dan Masyarakat Adat PP PMKRI, Mario Mere, menegaskan bahwa isu masyarakat adat tidak boleh hanya menjadi wacana sesaat, melainkan harus menjadi perhatian serius seluruh elemen bangsa.

Ia mengajak seluruh pihak untuk terlibat dalam perjuangan yang adil ini, demi hak-hak masyarakat adat yang terus-menerus terpinggirkan.

Dalam pandangannya, Mario menyoroti bahwa Program Food Estate bukan hanya sekadar kebijakan pangan, tetapi telah berubah menjadi pemantik konflik horizontal dan ekologis.

Kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, yang sejatinya merupakan benteng terakhir keanekaragaman hayati Indonesia, kini justru terancam akibat dorongan ambisius dari proyek nasional ini.

Lebih lanjut, Mario mempertanyakan keseriusan negara dalam menjaga ekosistem dan masyarakat yang bergantung padanya.

Ia menyoroti bahwa masih banyak kebijakan yang justru menjauhkan masyarakat adat dari tanah mereka, dan bahkan menjadi alat legalisasi perampasan wilayah adat.

Program Strategis Nasional, menurut Mario, kerap menjadi tameng legal bagi tindakan eksploitatif negara terhadap masyarakat adat.

Contohnya bisa dilihat dari proyek di Rempang dan Papua, di mana komunitas adat dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka demi kepentingan investasi.

Di banyak kasus, pendekatan yang digunakan adalah represif, dengan aparat keamanan hadir untuk memuluskan penggusuran.

Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI, Raymundus Yoseph Megu, juga menyampaikan hal serupa.

Ia menyebut bahwa mayoritas masyarakat adat Merauke secara tegas menolak program Food Estate.

Penolakan ini didasari oleh ketakutan akan kerusakan lingkungan, ancaman terhadap mata pencaharian tradisional, serta hilangnya hak atas tanah dan ruang hidup mereka yang diwariskan secara turun-temurun.

“Masyarakat menilai proyek ini dilaksanakan tanpa transparansi, secara tertutup, dan hanya menguntungkan kelompok tertentu. Yang paling mengkhawatirkan adalah keterlibatan aparat dalam proses pengambilalihan lahan,” ungkap Raymundus.

Ia menegaskan bahwa sebagai organisasi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, PP PMKRI siap berdiri di garda terdepan bersama masyarakat adat Merauke untuk mempertahankan hak atas tanah adat mereka.

Sementara Ketua Forum Masyarakat Adat Kondo Digoel, Simon Petrus Balagaize, mengungkapkan simbol perlawanan dengan pernyataan bahwa ribuan salib merah berdiri di Papua Selatan”.

Pernyataan tersebut menggambarkan betapa meluasnya penolakan terhadap proyek-proyek negara yang dirasa mengabaikan eksistensi masyarakat adat.

Salah satu bentuk penolakan terbaru datang dari Suku Yei di Merauke, yang menyatakan keberatan terhadap pembangunan Komando Resort Militer (Korem) TNI AD di atas tanah adat mereka.

Bukan hanya itu, proyek Food Estate yang menyasar wilayah hutan untuk perkebunan tebu dan pengembangan bioetanol, semakin memperburuk situasi.

Masyarakat adat mengkhawatirkan bahwa proyek tersebut akan menghancurkan lingkungan, menggusur ruang hidup mereka, serta menghilangkan hak atas tanah yang telah diwariskan secara turun-temurun dari leluhur mereka.

Situasi ini mempertegas pentingnya dukungan kolektif dari berbagai pihak, termasuk organisasi mahasiswa dan masyarakat sipil, dalam mengawal keadilan ekologis dan hak masyarakat adat.

PP PMKRI telah menyatakan komitmennya, kini saatnya publik lebih luas untuk mendengar dan berdiri bersama mereka yang suaranya kerap diabaikan. ***