Merawat Harmoni, Menangkal Radikalisme: Antusiasme Mahasiswa Muhammadiyah Kupang dalam Kuliah Umum Kebangsaan

by -615 Views

Kupang, TERBITINDO. COM – Di tengah derasnya arus globalisasi dan tantangan keberagaman yang semakin kompleks, Universitas Muhammadiyah Kupang menjawabnya dengan langkah konkret: membekali mahasiswa dengan pemahaman mendalam tentang bahaya radikalisme dan intoleransi.

Aula utama Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) tampak begitu hidup pada Selasa pagi, 24 Juni 2025.

Ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas, khususnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), memenuhi ruang aula dengan semangat yang menyala.

Mereka hadir dalam kuliah umum bertema “Melawan Radikalisme dan Intoleransi: Memperkuat Harmoni dalam Kehidupan Kampus”.

Kegiatan ini tidak sekadar menjadi agenda akademik rutin, melainkan sebuah ajakan terbuka untuk merawat keberagaman dalam kehidupan kampus.

Dua narasumber berpengaruh pun dihadirkan untuk membingkai diskusi ini dengan sudut pandang akademik dan religius yang berimbang: Rektor UMK, Prof. Dr. Zainur Wula, S.Pd., M.Si., dan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah NTT, Drs. Husen Anwar.

Dalam sesi pemaparannya, Prof. Dr. Zainur Wula membuka wawasan mahasiswa mengenai kaitan erat antara dinamika global dan ancaman ideologi transnasional.

Beliau menyoroti bagaimana geopolitik dan geoekonomi menjadi pintu masuk ideologi asing, termasuk yang radikal, ke dalam tatanan sosial Indonesia.

Posisi geografis Indonesia yang strategis—terletak di jalur lalu lintas ekonomi dunia antara negara-negara Timur dan Barat—membuat negeri ini menjadi target berbagai kepentingan global.

Indonesia, menurut World Bank, adalah negara dengan ekonomi terbesar ke-14 di dunia berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2024, serta memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa.

“Kekayaan ini tentu menjadi daya tarik bagi berbagai kekuatan asing. Dalam konteks globalisasi yang cair, ideologi radikal pun dapat menyusup melalui berbagai kanal,” ujar Prof. Zainur.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa dinamika global ini memicu pergeseran nilai dan pandangan dalam masyarakat.

Tanpa fondasi kebangsaan dan spiritual yang kuat, generasi muda berisiko menjadi lahan subur bagi penyebaran ideologi ekstrem.

Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya internalisasi nilai-nilai Pancasila secara menyeluruh.

Bagi Prof. Zainur, Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga panduan hidup yang sesuai dengan realitas multikultural bangsa Indonesia.

“Kita harus menjadikan Pancasila sebagai praktik hidup, bukan hanya hafalan,” tutupnya.

Memperkuat narasi tersebut, Drs. Husen Anwar dari MUI NTT memaparkan dimensi teologis dan sosiologis dari bahaya radikalisme.

Ia menjelaskan bahwa paham terorisme dan radikalisme kerap berakar dari ekstremisme keagamaan yang lahir dari pemahaman sempit dan terisolasi.

“Seringkali radikalisme muncul bukan dari ajaran agama yang murni, tetapi dari interpretasi parsial yang tidak kontekstual,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa radikalisme bertujuan mengubah tatanan sosial melalui cara-cara ekstrem, sementara intoleransi tumbuh dari sikap menolak perbedaan dan memonopoli kebenaran.

Pernyataan ini dikuatkan oleh data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang mencatat bahwa 50% pelaku teror di Indonesia dalam dekade terakhir berusia di bawah 30 tahun, sebagian besar di antaranya adalah mahasiswa atau lulusan perguruan tinggi.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya edukasi kebangsaan dan moderasi beragama di kalangan generasi muda.

Drs. Husen Anwar menekankan bahwa moderasi beragama adalah jalan tengah yang menjunjung kebersamaan, menjauhi kekerasan, dan merawat kemanusiaan.

“Inilah yang harus kita tanamkan di kampus: keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman,” ujarnya.

Di tengah atmosfer intelektual yang hangat, suara mahasiswa pun turut bergema.

Salah satunya datang dari Benediktus Pusjoyo Kedang, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan sekaligus Ketua Umum Dessausure Community, komunitas mahasiswa yang aktif di bidang Bahasa dan Sastra.

Ia menyatakan bahwa kuliah umum ini bukan hanya menggugah kesadaran, tetapi juga meneguhkan komitmen mahasiswa untuk menjadi agen perdamaian.

“Kita tidak boleh lengah. Pemahaman yang keliru bisa dengan mudah menjebak siapa saja, termasuk kami para mahasiswa,” ujarnya.

Menurut Benediktus, Pancasila harus menjadi ruh dalam setiap aspek kehidupan—dari cara berpikir hingga cara berinteraksi.

Ia percaya bahwa mahasiswa memiliki peran strategis dalam menciptakan iklim kampus yang inklusif dan toleran.

“Kami terus mengupayakan sikap yang mendukung kerukunan, menjauhi radikalisme dan intoleransi dalam segala bentuknya,” pungkasnya.

Kegiatan ini tak hanya mencerminkan kesadaran kolektif mahasiswa terhadap tantangan zaman, tapi juga memperlihatkan kesiapan mereka untuk terlibat aktif dalam menjaga harmoni sosial.

Dengan semangat kebangsaan yang menyala, kampus menjadi ladang subur bagi tumbuhnya nilai-nilai persatuan dan toleransi.***