Jakarta, TERBITINDO.COM – Kasus penganiayaan terhadap Intan, seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) asal Sumba Barat di Batam, menguak wajah gelap yang selama ini tersembunyi di balik dinding rumah-rumah mewah.
Tragedi ini bukan hanya menyayat nurani, tetapi juga menjadi pengingat pahit bahwa tanpa perlindungan hukum, para PRT di Indonesia berada dalam bahaya yang nyata.
Saatnya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) tidak hanya menjadi wacana, tetapi segera disahkan demi martabat dan keselamatan mereka.
Peristiwa memilukan yang menimpa Intan (22), seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) asal Sumba Barat, menjadi tamparan keras bagi bangsa ini.
Intan diduga menjadi korban penyiksaan keji selama satu tahun oleh majikannya yang berinisial R (44) serta rekannya M (22), di kawasan elite Sukajadi, Batam.
Kejadian ini tak hanya mengguncang publik, tetapi juga kembali menyorot urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), yang hingga kini masih terkatung-katung di meja legislatif.
Betapa ironi, di tengah kemajuan teknologi dan kesadaran hukum, kekerasan semacam ini masih bisa terjadi, bahkan berlangsung dalam kurun waktu yang panjang tanpa terdeteksi.
Kekerasan yang dialami Intan tidak hanya menyisakan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang dalam.
Selama hampir satu tahun, ia dikabarkan disiksa secara brutal: dipaksa minum air dari septitank, dipaksa memakan kotoran anjing, dan tubuhnya penuh dengan luka akibat kekerasan terus-menerus.
Masyarakat mulai mengetahui kasus ini setelah video dan laporan dari warga beredar di Facebook, memicu keprihatinan luas hingga akhirnya menggerakkan aparat kepolisian untuk melakukan penyelidikan.
Dalam waktu singkat, baik R maupun M ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Upaya damai atau mediasi tidak menjadi opsi dalam perkara yang sudah melampaui batas kemanusiaan ini.
Saat ini, Intan dirawat secara intensif di rumah sakit dan mendapatkan penanganan medis serta psikiatris untuk memulihkan kondisi fisik dan mentalnya.
Tragedi yang menimpa Intan membuka kembali perdebatan mengenai lambannya proses legislasi RUU PPRT.
Sejak pertama kali diusulkan pada 2004, rancangan undang-undang ini terus mengalami penundaan, meski telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Presiden Prabowo Subianto bahkan sempat berjanji untuk mendorong pembahasan RUU ini setelah Hari Buruh pada 1 Mei 2025 dan menargetkan rampung dalam tiga bulan.
Namun, sampai dengan pertengahan tahun, draf tersebut belum juga mencapai tahap pengesahan tingkat II.
Ketidaktegasan politik, tarik ulur kepentingan, dan minimnya kemauan politik di antara anggota legislatif membuat proses ini terus tertunda.
Beberapa partai bahkan sempat menolak menjadikan RUU PPRT sebagai rancangan undang-undang lanjutan (carry-over), menunjukkan betapa rendahnya komitmen terhadap perlindungan hak-hak PRT.
Kekejaman yang dialami Intan adalah bukti konkret betapa rentannya posisi PRT di Indonesia. Tanpa regulasi yang jelas, mereka menjadi kelompok yang paling mudah dieksploitasi.
RUU PPRT bukan sekadar naskah formal atau produk legislasi biasa—ini adalah dokumen yang dapat menyelamatkan ribuan nyawa.
RUU tersebut akan mengatur hak-hak dasar PRT seperti kepastian kontrak kerja, upah yang layak, jam kerja yang manusiawi, serta hak atas istirahat.
Lebih dari itu, ia juga menjadi alat pencegah kekerasan dan eksploitasi terhadap kelompok yang selama ini kurang mendapatkan perhatian negara.
Dengan dasar hukum yang kuat, seluruh pihak—baik penyedia jasa kerja, majikan, maupun pemerintah—akan memiliki tanggung jawab yang terukur dalam melindungi PRT.
Menanggapi tragedi ini, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) menyampaikan desakan kepada DPR RI agar menuntaskan pembahasan dan segera mengesahkan RUU PPRT dalam tahun ini juga.
Mereka juga mendesak pemerintah dan Badan Legislasi DPR untuk mempercepat proses pembahasan, termasuk jika perlu mengembalikan status carry-over terhadap RUU tersebut.
PMKRI mengajak masyarakat sipil, media, dan semua elemen bangsa untuk tetap aktif mengawal proses ini agar tidak kehilangan urgensinya.
Sebab, selama hukum belum hadir, kasus serupa Intan bukan tidak mungkin akan terus berulang di tempat lain.
Kisah Intan di Batam menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kebijakan, baik di eksekutif maupun legislatif, bahwa penundaan pengesahan RUU PPRT sama saja dengan membuka peluang bagi kekerasan terhadap PRT lainnya.
Kejahatan ini bukan hanya soal satu pelaku atau satu korban—tetapi tentang sistem hukum yang lalai melindungi kelompok yang paling rentan.
Kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak yang mungkin tak pernah terungkap. Jika negara tetap diam, maka tangisan sunyi para PRT akan terus menggema tanpa pernah mendapat keadilan.***
