Jakarta, TERBITINDO.COM – Ketua Lembaga Kajian Strategis PMKRI Jakarta Pusat, Andri Tani, menyampaikan bahwa bonus demografi merupakan sebuah peluang strategis yang hanya datang sekali dalam sejarah bangsa.
Menurutnya, bonus demografi adalah kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia nonproduktif (anak-anak dan lansia).
“Dalam fase ini, beban tanggungan negara menjadi lebih ringan karena jumlah penduduk yang bekerja lebih besar daripada yang ditanggung. Hal inilah yang disebut bonus, sebuah berkah yang tidak semua negara memilikinya,” jelas Andri dalam keterangan tertulisnya.
Ia mencontohkan beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan yang kini menghadapi krisis populasi akibat struktur demografi yang menua (aging population).
“Meskipun secara ekonomi dan teknologi mereka maju, ketidakseimbangan demografi telah menjadi ancaman serius. Mereka bahkan bersedia menukar banyak hal untuk mendapatkan kembali bonus demografi,” tambahnya.
Andri menegaskan bahwa bonus demografi, jika dikelola secara tepat, bisa menjadi akselerator pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kita bisa lihat bagaimana India dan Tiongkok sempat menikmati manfaat dari bonus demografi dalam beberapa dekade terakhir. ungkap Andri Tani. Namun, para pakar menilai bahwa kedua negara tersebut belum memaksimalkan potensi tersebut karena berbagai hambatan seperti masalah sistemik, pendidikan dasar, dan ketimpangan urbanisasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa banyak analis internasional kini melihat Indonesia sebagai negara dengan potensi paling besar dalam memanfaatkan bonus demografi secara optimal, berkat kondisi geopolitik, sistem sosial, dan pendidikan yang lebih kondusif dibandingkan negara-negara tersebut.
“Namun, keberhasilan itu tidak otomatis terjadi. Ini bukan proses yang turun dari langit. Bonus demografi bukanlah hasil akhir, melainkan alat atau kendaraan untuk mencapai cita-cita menjadi negara maju,” terang Andri.
Ia memaparkan bahwa untuk menjadi negara maju, Indonesia harus meningkatkan pendapatan per kapita dari sekitar USD 4.580 menjadi setidaknya USD 13.000.
“Untuk mencapainya, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus melampaui angka 7%, bukan stagnan di kisaran 5% seperti saat ini,” ujar Andri.
Menurutnya, salah satu strategi penting adalah memperbesar GDP dan meningkatkan efisiensi investasi. “Rasio investasi terhadap GDP perlu ditingkatkan, tetapi tidak bisa sepenuhnya mengandalkan investasi asing langsung (FDI).
Kita harus mampu menurunkan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) dari angka 6 ke angka 5, atau bahkan 4,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya inovasi dan peningkatan produktivitas. “Produktivitas tidak akan meningkat tanpa adanya produk, dan produk tidak akan ada tanpa inovasi.
Inovasi lahir dari riset dan pengembangan (R&D), yang sayangnya masih minim didanai oleh negara. Ini menjadi pekerjaan rumah penting bagi pemerintah,” tegas Andri.
Andri juga menyoroti narasi publik yang terlalu membebankan tanggung jawab bonus demografi sepenuhnya kepada generasi muda.
“Kita kerap mendengar bahwa masa depan Indonesia bergantung pada anak muda. Padahal, yang lebih menentukan adalah sejauh mana negara, khususnya pemerintah, menciptakan sistem yang memberikan ruang, insentif, dan kesempatan bagi anak muda untuk berkembang dan berkontribusi,” paparnya.
Ia menyebut banyak anak muda Indonesia telah membuktikan kapasitas dan kompetensinya di berbagai bidang—baik dalam industri kreatif, teknologi, olahraga, maupun wirausaha.
“Artinya, bukan anak mudanya yang belum siap. Pertanyaannya: apakah pemerintahnya yang sudah siap memfasilitasi mereka secara serius dan meritokratis?” katanya.
Andri menutup pernyataannya dengan menyoroti peran pemerintahan saat ini. “Wakil Presiden Gibran menyebut bahwa periode 2030–2045 adalah momentum penting.
Namun saya tegaskan, fase krusialnya adalah sekarang—periode 2025 hingga 2030. Jika momentum ini gagal dimanfaatkan, sejarah akan mencatat bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran menyia-nyiakan peluang satu abad ini,” tegasnya.
Ia menyerukan agar pemerintah fokus pada agenda strategis dan menjauh dari hal-hal yang bersifat kosmetik atau distraktif.
“Bangsa ini tidak butuh gimik, tapi arah kebijakan yang visioner dan berbasis evaluasi objektif. Sudah saatnya kita berani melakukan refleksi dan koreksi demi masa depan Indonesia,” tutup Andri Tani.
